Grand Prix Formula E Jakarta (Momentum Kendornya Polarisasi)
Setelah tarik ulur antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintan Provinsi DKI Jakarta, balap mobil elektronik di Jakarta akhirnya dapat diselenggarakan pada Juni 2022. Pada mulanya, sirkuit akan dibangun di lahan sekitar Monas, tetapi pemerintah keberatan, sehingga berkembang menjadi isu politik yang dikaitkan dengan polarisasi politik. Tentu saja isu politik yang terjadi di ibu kota dengan sendirinya bergema secara nasional.
Akhirnya Pemprov DKI membangun sirkuit perlombaan di Jakarta Utara dan pembukaan Grandprix dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang didampingi oleh tuan rumah Guberbur DKI Anies Baswedan, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua DPR Puan Maharani.
Masyarakat antusias menyambut even tersebut yang baru pertama digelar di Indonesia.
Even balap mobil elektronik tersebut mempunyai nilai strategis karena mengawali penggunaan mobil elektronik secara massal dan dalam hal ini sekaligus mempersiapkan Indonesia sebagai salah satu pusat industri mobil elektronik di kawasan Asia tenggara. Kehadiran pimpinan ketiga lembaga negara tinggi tersebut menggarisbawahi pentingnya makna Grandprix E Formula tersebut.
Pimpinan Nasional
Namun di samping pentingnya makna dari aspek transportasi dan teknologi atau industri, kehadiran ketiga pimpinan lembaga tinggi negara bersama gubernur DKI juga mempunyai nilai politik yang krusial di tengah polarisasi politik - pembelahan masyarakat terutama sejak 2019. Secara politik, pertemuan ke empat tokoh nasional tersebut menandai cairnya hubungan elite kekuasaan selama ini.
Keempatnya menempatkan kepentingan nasional yang lebih besarnya yakni dalam rangka percepatan proses transformasi teknologi mobil elektronik dan perlunya iklim politik yang positif menjelang Pileg dan Pilpres. Sejak Pilkada DKI 2016, iklim politik dalam negeri diliputi oleh prejudis satu sama lain dipengaruhi oleh politik populisme yang sedang trending di dunia sehingga mendorong kentalnya politik identitas di Indonesia.
Di negara yang multi etnik-religi-budaya, maka politik identitas sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Setiap kelompok mempunyai sentimen premordial masing-masing sebagai identitas yang membedakan satu sama lain. Namun perbedaan (bhineka) tersebut tidak boleh melanggar kepentingan bersama (Tunggal Ika) yang menjadi ikatan sebagai bangsa sesuai dengan doktrin “Bhineka Tunggal Ika“.
Mempertahankan identitas suku, agama, ras dan golongan tidak menjadi masalah sepanjang mengutamakan sikap inklusif. Dan yang tidak ditolerir adalah menempatkan identitas primordialisme lebih tinggi dari kepentingan bersama sebagai bangsa karena hal itu menonjolkan sikap eksklusif. Eksklusivisme ini sama dengan politik identitas. Sebutan kadrun, cebong dll-nya seharusnya dihapus dari perbendaraan kata-kata kita sebagai bangsa besar, guna melenyapkan apa yang disebut dengan politik identias atau polarisasi.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar PBNU, tinggal di Jakarta.