Grand Heaven Surabaya Gelar Upacara Cheng Beng, Ini Maknanya
Rumah Duka Grand Heaven Surabaya ikut merayakan puncak bulan Cheng Beng dengan melakukan doa serta ritual membakar seserahan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur umat Budha, 22-23 Maret 2023.
Adapun seserahan yang dibakar berupa kapal terbuat dari kertas, buah, teh hingga daging. Suwito Mulyadi selaku pemilik Grand Heaven mengatakan, upacara Cheng Beng merupakan adat istiadat untuk membersihkan makam orang tua.
Pada hari pertama umat Budha membacakan doa untuk penyeberangan roh para leluhur mereka. “Pesannya adalah kita harus menghargai leluhur kita. Kesatu leluhur kita jangan kita sia-siakan atau kita sudah kremasi (abunya) dibuang ke laut. Jadi kerangka itu alangkah baiknya dipelihara,” kata Suwito Mulyadi dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat 24 Maret 2023.
Menurut Suwito Mulyadi, memelihara kerangka leluhur setelah jenazahnya dikremasi untuk mengingat garis akar keturunan. “Di China itu 95 persen sampai 99 persen itu semua boleh dikremasi, kerangkanya diambil lagi oleh keluarganya kemudian dikubur lagi dengan tanah ukuran 1x1 meter," terang pria yang akrab disapa Awi tersebut.
Terkait menguburkan tulang leluhur atau kerabat yang meninggal, ia menerangkan bahwa hal ini merupakan kepercayaan yang berkaitan dengan kesejahteraan generasi penerus. “Kalau dikubur itu kan utuh jenazahnya, itu rezekinya 100 persen dia bisa mendapatkan. Kalau dikremasi dia mendapatnya ya 75 persen,” ucapnya.
Ia mengatakan, Grand Heaven Surabaya bakal menggelar upacara Cheng Beng pada tahun depan lebih meriah dengan menanamkan benih kasih sayang untuk lebih mencintai dan mengasihi orang tua.
Setelah acara bakar seserahan, kegiatan juga diwarnai ritual mengirimkan doa di ruangan rumah abu oleh Banthe. Dan pada bulan tujuh rumah duka akan menggelar ritual Chi Qwe Cap Go untuk membantu menyeberangkan roh ke surga karena pintu neraka telah dibuka.
“Makanya kalau Chi Qwe Cap Go, biasanya kita orang-orang Chinese itu biasanya satu tidak ada yang married, tidak ada perkawinan. Kedua, kita juga anak-anak tidak diperbolehkan pulang sampai malam karena setan bergentayangan. Jadi saat-saat itulah banyak kejadian-kejadian yang kita tidak bisa tahu,” pungkas Suwito.
Advertisement