Grab Tak Bisa Lepas Tangan Atas Transaksi Fiktif
Pengamat hukum pidana Universitas Brawijaya Malang Nurini menyatakan Grab terindikasi melakukan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik jika aplikator jasa layanan transportasi dalam jaringan ini terbukti melakukan unsur kesengajaan pada kasus pesanan fiktif di Malang.
"Ada unsur kesengajaan dilakukan aplikator jika pemilik usaha telah mengajukan permintaan pindah alamat, tetapi aplikator belum mengubahnya. Grab bisa terjerat pasal 55 dan 56 KUHP," kata Nurini dihubungi di Malang, Minggu.
Hanya saja, lanjutnya, jika dilihat lagi, apa memang sudah dilaporkan ke aplikator atau belum kepindahan itu. Kalau sudah dan sengaja tidak ditutup berarti ada unsur kesengajaan dari aplikator.
Harusnya, lanjut Nurinj, aplikator segera mengubah setelah ada permintaan penutupan. Tapi, kalau membiarkan berarti melakukan pembantuan, apalagi pasti dia punya kewenangan melakukan suspend ke pengemudi ojek online-nya.
Beberapa hari sebelumnya, Riski Riswandi, seorang pengusaha, mengungkapkan telah menerima tagihan dari Grab sebesar 25 persen dari total transaksi di warungnya, Bebek Chipuk. Total transaksi tersebut mencapai Rp40 juta dalam waktu tiga hari.
Padahal, menurut Riski, warungnya yang berada di Jalan Raden Tumenggung Suryo Kota Malang telah tutup sejak Ramadhan lalu karena sedang direnovasi.
Untuk sementara, ia bersama istrinya membuka warung makan yang sama di Jalan Terusan Titan 5 G4. Sebagai mitra yang terdaftar di Grabfood, Riski telah mengajukan pindah alamat pada 3 Juli lalu.
Akan tetapi, Grab belum mengubah alamat warung makan milik Riski dan Bebek Chipuk masih aktif dengan alamat yang lama. Riski merasa telah menjadi korban pesanan fiktif oleh pengemudi Grab dan melapor ke Mapolresta Malang.
Dalam hal ini, kata Nurini, memang driver yang melakukan pesanan fiktif merupakan pelaku utama. Namun, jika aplikator sudah menerima laporan dan membiarkan, berarti aplikator turut serta dalam melakukan tindak pidana.
Menurut Nurini, keduanya terancam hukuman 6 tahun penjara atau denda sebesar Rp1 miliar jika terbukti bersalah.
Adapun pasal yang menjerat, yaitu pasal 28 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo pasal 45 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirumuskan dalam satu naskah.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
"Pasal lain yang akan menjerat keduanya adalah tindak pidana ITE dalam pasal 28 Ayat (1) unsur-unsurnya: Kesalahan: dengan sengaja, melawan hukum: tanpa hak; Perbuatan: menyebarkan, Objek: berita bohong dan menyesatkan, Akibat konstitutif: mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Namun, hingga berita ini diturunkan, Humas Grab Andre Sebastian belum memberikan keterangan apapun terkait persoalan tersebut.
Advertisement