Gotong Royong Perbaiki Langgar Gipo, Langgar NU Yang Terlupakan
Langgar Gipo. Begitulah nama sebuah langgar tua yang beralamat di Jalan Kalimas Udik I/51 Surabaya. Langgar tua, yang berdiri berjajar dengan bangunan bangunan tua lainnya di Jalan Kalimas Udik I ini, berlantai dua dan berarsitektur kolonial.
Jendela jendela lebarnya menghiasi dinding di lantai satu dan dua. Ketika dibuka, jendela jendela itu memberikan jalannya sirkulasi udara yang enak meski posisi langgar terhimpit oleh bangunan bangunan besar di kiri-kanannya.
Secara arsitektur, si perancang bangunan langar kala itu sangat sadar dengan letak dan posisi langar, yang berdiri di antara bangunan bangunan yang sama sama besarnya. Dari luar memang terlihat rapat dan berhimpitan, namun tata ruangan di dalam langgar dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki akses yang berhubungan dengan udara bebas.
Design bangunan bagian dalam tidak total tertutup oleh atap, tapi masih menyisakan bagian bagian yang memungkinkan udara dan cahaya bisa masuk ke dalam ruangan. Akhirnya, tidak cuma sirkulasi udara saja yang tercipta tetapi juga pencahayaan alami bisa menerangi bagian dalam musholla baik di lantai bawah maupun lantai atas.
Dengan kontruksi dan design langgar seperti ini, maka langgar Gipo tidak hanya nyaman sebagai tempat untuk beribadah, tapi juga enak dipakai sebagai sebuah transit. Langgar Gipo, menurut beberapa sumber pernah menjadi asrama haji di era kolonial.
Mohamad Khotib, pegiat sejarah dan budaya dari Ampel Heritage Surabaya, mengatakan bahwa dari asrama haji di langgar Gipo ke pelabuhan, cukup berjalan hanya sejauh 50 meteran kea rah barat, maka sampailah di pelabuhan sungai Kalimas, sebelum kapal kapal itu mengarungi lautan lepas.
Ramai dan jayanya langgar ini terbersit pada posisinya yang strategis. Berada pada ruas jalan yang lebar dan berjajar dengan bangunan bangunan besar nan indah dan megah. Apalagi jalan Kalimas Udik ini langsung berujung (sisi barat) di tepian Kalimas, yang sarat sebagai jalur urat nadi perhubungan, ekonomi dan perdagangan.
Kala itu, di era colonial, jalan itu belum bernama jl Kalimas Udik, melainkan jl. Gipo, kependekan dari Sagipoddin. Sagipoddin adalah orang kaya keturunan Arab yang tinggal di Kawasan Ampel Surabaya. Tidak hanya kaya, keluarga ini sangat berpengaruh di lingkungannya.
Apalagi Sagipoddin menurunkan tokoh yang menjadi ketua NO (Nahdatul Oelama), Hasan Gipo yang makamnya bertempat di komplek pemakaman Sunan Ampel. Sedangkan langar Gipo sendiri sebetulnya langar keluarga yang sekaligus, di eranya juga menjadi pusat pergerakan Islam, termasuk sempat menjadi transit {asrama) haji di jaman penjajahan.
Namun, seiring dengan kebesaran organisasi Islam terbesar di tanah air ini, Nahdatul Ulama (NU), langgar Gipo tidak hanya tetap kecil tapi juga semakin mengecil dan meredup. Publik tidak ingat dan tidak tau apa itu Langgar Gipo.
Apalagi, kondisi langgar Gipo ini terlihat kusam, cat cat dinding mengelupas, plafon plafon baja terlihat keropos dan sebagian hilang (copot) termakan usia, kayu kayu blandar ada yang rapuh. Konstruksi tangga yang terbuat dari semen juga mulai rompal rompal.
Untungnya lantai yang terbuat dari marmer dan tegel masih utuh, termasuk relung pengimaman dengan ornamen keramik hias yang masih tertempel. Namun, kondisinya sangat kotor. Selain berdebu, juga terlapisi oleh kotoran kelelawar.
Langgar Gipo memang sudah puluhan tahun mangkrak, tidak lagi dipakai sebagai langgar keluarga oleh keluarga Saggipoddin. Selama puluhan tahun, langar yang bersebelahan dengan pergudangan ini, ditempati oleh warga liar.
Meski sesungguhnya keluarga Sagipoddin ini memiliki yayasan, namun Yayasan yang dikelolanya belum banyak menyentuh nasib langar, yang dari tahun ke tahun semakin kusam dan rapuh dan semakin ditinggalkan.
Mengingat nilai sejarah yang pernah tertoreh di rumah Allah ini, sejumlah pegiat sejarah dan budaya baik dari lingkungan keluarga Saggipoddin maupun kerabat dan masyarakat berangsur terpikat dengan nilai nilai historis, arsitektur dan bahkan arkeologisnya.
Selain matrialan bangunan yang khas dari era kolonial, juga diduga terdapat matrialan lain dari awal pendudukan bangsa kolonial Belanda di Surabaya. Ada tegel tegel terakota besar berukuran 40 cm persegi, yang umumnya dipakai di jaman VOC.
Para pegiat dan pemerhati sejarah, khususnya sejarah langgar Gipo ini, secara gotong royong dan sukarela memperbaiki langgar. Meraka adalah Laskar Macan Ali, yang tergerak untuk melestarikan nilai nilai sejarah. Langgar Gipo memiliki sejarah bangsa yang berada di Surabaya.
Selama ini Laskar Macan Ali bergerak sendiri secara swadaya dan gotong royong membersihkan langar. Namun, kemarin sore (9/6) mereka mulai berkolaborasi dengan komunitas Laskar Surabaya untuk berdiskusi mencari solusi demi perbaikan langar.
Dengan berbekal semangat, keringat dan tenaga, demikian kata Mohammad Yunus, juru kunci langar yang juga sebagai tokoh Laskar Macan Ali, mereka mengerjakan perbaikan di sela sela kesibukan mereka. Misalnya mereka bergotong royong membersihkan langar di hari Minggu. Bahkan ada yang mengerjakan di malam hari setelah pulang kerja.
Mereka berswadaya, urunan sedikit demi sedikit yang hasilnya dipakai membeli semen, pasir, plamir serta cat yang dibutuhkan untuk perbaikan fisik langar. Pekerjaan mereka sangat perlahan mengingat kondisi keuangan dan pendanaan yang apa adanya. “Kami membuka donasi dari para donator yang ingin membantu memperbaiki langar bersejarah ini”, demikian kata Yunus di sela sela diskusi pada Selasa sore di Langgar Gipo.
Sementara itu menurut Sapto Hari (Laskar Surabaya), Langgar Gipo berpotensi menjadi bangunan cagar budaya. Tidak hanya karena bangunannya yang berusia lebih dari 50 tahun, tapi arsitektur bangunan langar ini memiliki kontruksi khas. Apalagi dilihat dari segi jalannya latar belakang sejarah pergerakan Islam.
Bangunan langar Gipo ini menunjang eksistendi Kawasan kota lama, khususnya Kawasan kampung Ampel. Langgar Gipo tidak jauh dari jalan Panggung yang secara fisik sudah ditata untuk dijadikan Kawasan wisata sejarah.