Gosong
''YA AMPUNNN makkk kopine gosong," kata awake saya.
Emak dengan suantai menjawab, "Ora popo pokoke bukan londo gosong."
"Tapi mak kalau gosong begitu kopinya kan habis," eyel awake saya.
"Jare sopo, wong utuh-utuh mlunus-mlunus gitu lho," kata emak tak kalah ngeyel.
"Item begini namanya kopi sudah jadi karbon mak," awake saya coba cari celah dialog.
"Ah karbon kuwi ngger sak ngertiku sing biasa digawe lemek kertas trus di ketik tak tik tak tok karo Pak Carik kae," kata emak ngeles.
"Yo wis lah mak terserah sampeyan wis, tapi kalau kopi digoreng sehitam begini kopinya pahit tiada tara," sekali lagi awake saya coba cari cara dialog yang pas.
"Nggerrrr dari dulu, kopi itu ya pahit. Kalau manis gula. Kalau pahit manis ya kopi kasih gula. Pelanggan emak ini sukanya kopi hitam kopi pahit. Kalau tidak digoreng begini pelanggan protes. Masih untung protesnya ndak kayak buruh yang bawa poster dan teriak-teriak itu. Protesnya kalau di emak ini ya ditinggal saja kopinya, ndak diminum, lalu besok menghilang ndak sambang warung lagi. Sambang-sambang ya dua bulan kemudian, lalu tanya, mak kopinya apa sudah digoreng mateng? Begitu! Nah jadi, kalau tidak sehitam ini gorengannya namanya tidak mateng.
Nggerrr emak ini jualan apa kata pelanggan. Kalau kebiasaan goreng diubah, mereka baru balik dua bulan kemudian, trus buat apa emak ini goreng kopi cantik-cantik tidak gosong tapi tak ada yang beli? Embahku dulu, goreng kopi ya begini. Buyutku dulu goreng kopi malah ada jagungnya biar tambah pahit. Kalau emak ini jauh lebih lumayan, emak ndak pakai campuran apapun, karena emak suka yang murni.
Murni itu pelayan warung kopi sebelah, wis mrono o ae ndelok dan ngobrol sama cah ayu daripada disini bau sangit dan ganggu konsentrasi emak," emak merangkai kata panjang seperti barisan kereta api tanpa bisa ditawar.
Matik aku. Skak mat awake saya. Tepok jidat dan bersungut-sungut nyerah kalah sama si emak. "Ih... emak sadis banget. Emang Murni gelem karo aku mak? Hari ini dia pakai rok cekak apa baju cekak mak?" (widikamidi)