Gorong-Gorong Raksasa, Jakarta Bisa Tiru Tokyo Atasi Banjir
Banjir besar di ibukota Jakarta sudah hampir sepekan terjadi. Tapi polemik cara mengatasinya masih berlangsung hingga kini.
Inilah banjir parah akibat air kiriman dan curah hujan yang tinggi. Banjir Jakarta tidak hanya banjir air. Di dunia maya juga banjir saling bully antar pendukung Anies Baswedan dan penentangnya.
Anies adalah gubernur DKI yang dulu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di awal pemerintahan Jokowi. Ia menjadi orang pertama di ibukota mengalahkan Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama. Pembelahan politiknya mengalir sampai sekarang.
Apalagi soal pengendalian banjir ini, Anies berbeda pandangan dengan pemerintahan sebelumnya dan pemerintahan pusat. Ia ingin mengendalikan banjir melalui naturalisasi.
Pusat ingin meneruskan normalisasi sungai yang sudah berjalan dan telah ada masterplannya. Anies berkilah banjir Jakarta lebih karena air kiriman dari puncak. Karena itu, selesaikan masalahnya di hulu.
Tapi apakah banjir hanya masalah ibukota Jakarta? Tentu tidak. Sejumlah kota besar pernah mengalaminya. Tapi mereka bisa mengatasinya setelah melakukan terobosan besar.
Tokyo, ibukota Jepang, misalnya. Kota ini beberapa kali dilanda banjir bandang sejak tahun 1958. Sudah 14 kali. Terbesar banjir bandang di tahun 2005. Saat itu, 125 hektar wilayah Tokyo terendam. Sekitar 3.595 rumah jadi korban.
Karena beberapa kali dilanda banjir, pemerintah ibu kota negeri Sakura itu membangun gorong-gorong raksasa di bawah tanah. Pembangunannya dimulai 1985. Baru tuntas 2008. Jadi butuh waktu 23 tahun.
Saya pernah mengunjungi gorong-gorong raksasa tersebut, April 2013. Bahkan sempat masuk ke dalamnya. Berada di kedalaman 53 meter di bawah permukaan tanah. Tepat di bawah jalan lingkar tujuh kota Tokyo.
Saat itu saya mendampingi Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf. Ia khusus mengunjungi Jepang untuk studi banding tentang cara negeri itu mengendalikan banjir. Juga belajar tentang irigasi.
Mereka menyebut gorong-gorong raksasa itu dengan sebutan waduk pengendali bawah tanah (regulating reservoir tunnel). Panjang gorong-gorong raksasa ini totalnya 4,5 kilometer.
Pada tahap pertama diselesaikan dulu 2,5 kilometer di tahun 1999. Ini berfungsi untuk menampung luapan sungai Kanda. Tahap kedua sepanjang 2 kilometer untuk menampung luapan sungai Zenpukuji. Tuntas 2008.
Kota dengan biaya hidup paling mahal di dunia ini memang dibelah oleh dua sungai besar itu. Dengan adanya bangunan dua gorong-gorong raksasa itu, kedua sungai besar itu terhubung lewat fasilitas pengendali bawah tanah.
"Gorong-gorong bawah tanah ini untuk menampung air ketika musim hujan. Ketika musim kemarau, air tersebut dipompa untuk dialirkan ke sungai kembali," kata Yasushi Anoe, direktur III Kantor Konstruksi Pemerintah Metropolitan Tokyo.
Ada tiga titik pengendali arus air dan satu menara ventilasi di lorong panjang itu. Masing-masing titik diawasi tak lebih dari sepuluh petugas. Pusat pengendali itu terdiri atas tiga bangunan.
Salah satunya pusat kontrol untuk menyelamatkan jutaan warga Tokyo dari luapan air bah yang datang setiap musim hujan tiba. Di ruang seluas 25 meter persegi itu terdapat satu set peralatan yang serbaotomatis dan elektrik.
Juga enam layar TV berukuran besar yang terhubung CCTV di dalam gorong-gorong, pintu penyedot air, dan titik-titik rawan banjir. Lewat pengontrol itu bisa dilihat derasnya arus air, posisi pintu air, dan ruang pompa raksasa. Semua serba mekanik dan komputer.
Untuk masuk ke gorong-gorong itu mengguna lift berisi enam orang. Namun hanya sampai ke pusat pompa air. Sedang untuk mencapai gorong-gorong penampung air masih harus turun lagi dengan mengggunakan tangga. Lantas menuju ke gorong-gorong utama orang harus berjalan sekitar 200 meter.
Di dalam lorong kecil menuju gorong-gorong raksasa terlihat corat-coretan mural karya murid-murid SD. Tampaknya, meski berada di dalam perut bumi, instalasi itu menarik perhatian anak-anak sekolah untuk mengunjunginya.
Walaupun menjadi penampung air sungai di perkotaan, tidak ada sampah yang mengotori gorong-gorong. "Wah, kalau gorong-gorongnya bersih dan sebesar ini, untuk konser musik pun bisa," celetuk Gus Ipul --panggilan Saifullah Yusuf saat itu.
Ada sistem ventilasi udara yang membuat suasana di dalam gorong-gorong nyaman. Tidak panas seperti masuk gua. Orang juga tidak perlu takut sesak napas karena oksigen yang masuk ke gorong-gorong sangat cukup.
Apalagi, diameter gorong-gorong itu mencapai 12,5 meter. Tidak seperti gorong-gorong tinggalan Belanda di bawah Embong Malang, Surabaya, yang hanya berdiameter 2,5 meter.
Berdasar perhitungan, gorong-gorong raksasa bawah tanah ini bisa menyelamatkan potensi kerugian akibat banjir hingga 100 miliar Yen atau sekitar Rp 10 triliun. Angka itu diperoleh berdasar kerugian yang diderita rakyat dan pemerintah saat banjir pada 2005.
"Dengan proyek ini, kami bisa menyelamatkan potensi kerugian akibat banjir hingga ratusan miliar Yen dan membuat warga Tokyo aman dari banjir," terang Yasushi.
Bangunan bawah tanah tersebut mampu menampung 540 ribu meter kubik setiap musim hujan. Dengan kemampuan tersebut, Tokyo terbebas dari banjir.
Ketika Jokowi menjadi gubernur DKI, ia pernah menggagas membuat gorong-gorong raksasa seperti di Jepang ini. Apalagi teknologi ini juga telah berhasil mengatasi banjir yang dulu menjadi langganan Kuala Lumpur Malaysia.
Rasanya, Pemerintah DKI dengan APBD yang hampir mencapai Rp 100 triliun bisa merealisasikan gagasan tersebut. Tinggal political will dari gubernurnya.
Advertisement