Goodbye Setya Novanto
Rapat Pleno DPP Partai Golkar Rabu malam (13/12) memutuskan untuk mengangkat Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar yang baru menggantikan Setya Novanto. Pleno juga memutuskan Munaslub akan digelar pada tanggal 19-20 Desember dengan agenda pengukuhan Airlangga sebagai ketua umum Golkar.
Ada dua tafsir penting dari keputusan rapat pleno tersebut. Pertama, memastikan pencalonan Jokowi sebagai capres Golkar, tetap aman, tidak boleh diotak-atik. Kedua, berakhirnya kekuasaan dan karir politik Setya Novanto.
Pertama, kepastian tiket Jokowi. Sejak awal keputusan Airlangga yang mencalonkan/dicalonkan sebagai ketua umum menggantikan Setnov, adalah dalam rangka mengamankan tiket Jokowi sebagai capres dari Golkar.
Sebagai menteri, Airlangga adalah pembantu sekaligus “orang” Jokowi di DPP Golkar. Posisi Airlangga kian kuat karena juga mendapat dukungan dari Wapres Jusuf Kalla. Jadi Airlangga bisa dibaca sebagai sebuah paket yang menyatukan, sekaligus mengamankan kepentingan Jokowi-Jusuf Kalla.
Soal bagaimana komposisinya pada pilpres 2019, apakah tetap berpasangan dengan Kalla, atau orangnya Kalla, tinggal baku atur. Yang penting tiket aman dulu.
Bila paket ini tidak diamankan sejak dini dan dibiarkan bergulir sampai Munaslub, tidak ada jaminan Airlangga bisa melenggang mulus menjadi ketum Golkar. Situasinya bisa bergerak liar, dan tidak terduga.
Di luar Airlangga banyak figur lain yang juga mengincar posisi tersebut, termasuk Titiek Soeharto.
Figur putri almarhum Presiden Soeharto ini tidak bisa dianggap remeh. Dia juga telah bergerak menggalang dukungan, termasuk dari para sejumlah pinisepuh seperti Akbar Tandjung.
Kendati telah merapat ke Jokowi, melalui cover audiensi Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI/TNI (FKPPI), namun tampaknya kubu Jokowi belum begitu yakin dengan figur Titiek.
Maklumlah pada pilpres lalu Titiek berada di kubu Prabowo Subianto yang nota bene saat ini masih menjadi penantang paling potensial Jokowi.
Titiek juga diketahui aktif mendukung dan turut hadir dalam Aksi Bela Islam (ABI). Gerakan yang baru saja melaksanakan Reuni Alumni 212 ini telah menjadi sebuah kelompok penekan terhadap berbagai kebijakan Presiden Jokowi. Dengan begitu tidak ada jaminan bila Golkar dibawah kendali Titiek, posisi Jokowi sebagai capres Golkar Akan tetap aman.
Bagi kalangan internal, tampilnya Titiek bisa dilihat sebagai kembalinya kendali Golkar ke tangan keluarga Cendana. Situasi di tubuh Golkar bisa kembali seperti PDIP yang dikuasai klan Soekarno. Ini yang tidak diinginkan.
Di luar Titiek, terbuka kemungkinan ada calon-calon lain yang akan memperebutkan kursi Ketum Golkar, bila situasinya memungkinkan. Mereka diam-diam menunggu bola muntah, dan siap menerkamnya.
Dalam konstelasi politik saat ini, utamanya berkaitan dengan syarat presidential threshold sebesar 20 persen, maka Golkar yang memperoleh suara 14.75 persen pada Pileg 2014 menjadi sangat penting dan krusial. Jadi siapapun yang memegang kendali Golkar, memiliki kartu truf penting yang bisa dimainkan.
Dengan keputusan pleno penetapan Airlangga sebagai Plt Ketum, dan kemudian diikuti pengukuhannya sebagai Ketum pada Munaslub, maka berbagai manuver politik dari lawan, atau kelompok yang potensial menjadi lawan, entah Titiek atau yang lainnya, bisa sejak dini diaborsi.
Kedua, dari sisi Setnov keputusan pleno tersebut mengakhiri kekuasaannya lebih cepat. Bila Munaslub tidak segera digelar, atau pelaksanaan Munaslub berlarut-larut, maka secara definitif kekuasaan masih berada di tangan Setnov.
Hal itu menjelaskan mengapa kendati berada di dalam rumah tahanan KPK, Setnov masih bisa menunjuk Idrus Marham sebagai Plt Ketum. Manuver terbaru Setnov adalah menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR. Begitu juga halnya dengan tiket capres/cawapres masih harus memerlukan tanda tangannya.
Bagi Setnov keputusan pleno itu seperti pukulan berganda. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) Rabu 13/12) juga telah menggelar sidang perdananya dan jaksa penuntut telah membacakan dakwaannya. Dengan begitu secara hukum acara pidana, maka upaya Setnov melakukan pra peradilan telah gugur.
Hari Rabu kemarin bagi Setnov bisa disebut sebagai black Wednesday, karena secara politik maupun hukum dia sudah dikalahkan.
Situasi Setnov mengingatkan sebuah pesan yang diwanti-wanti oleh seorang politisi AS Ann Richards in politics, your enemies can't hurt you. But your friends will kill you.
Setnov beramai-ramai ditinggalkan oleh para pendukung dan orang dekatnya. Jokowi yang didukungnya mati-matian, sudah lebih dahulu meninggalkannya. Dia menolak ketika Setnov minta perlindungannya.
Melihat tuntutan jaksa, dan hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa korupsi e-KTP yang tak kurang dari lima tahun penjara, maka secara hukum Setnov tidak lagi boleh mencalonkan dan dicalonkan dalam jabatan publik.
Inilah tampaknya akhir perjalanan dan petualangan seorang anak manusia bernama Setnov. The rise and the fall of Setnov.
Sebuah perjalanan luar biasa dari seorang sopir pribadi menjadi pengusaha kaya raya bergelimang harta, menempati posisi penting di dunia politik dan kenegaraan RI.
Setnov adalah seorang figur fenomenal yang berkali-kali bisa berkelit dan lolos dari lubang jarum berbagai kasus yang menjeratnya. Namun seperti bunyi pepatah, sepandai pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Semua pesta ada akhirnya. Musik sudah berhenti dimainkan. Lampu-lampu sudah dipadamkan. Saatnya berkemas dan menghadapi kehidupan nyata.
Menyaksikan perjalanan hidup Setnov adalah cerita kegigihan seorang anak manusia yang bisa mengubah nasibnya, from zero to hero, tapi kini menjadi from hero to zero. Dalam bahasa anak zaman now dari Setnov menjadi Setback.
Tampaknya inilah waktunya yang tepat bagi kita mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah. Goodbye Setnov. We’ll (never) miss you……end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement