Gonjang-ganjing Global, Allah Ta'ala Ingatkan Kematian (1)
Virus Corona atau Covid-19 yang menjadi perbincangan dunia, menjadi renungan Agus Maftuh Abegebriel, Duta Besar RI untuk Arab Saudi di Ryadh. Alumnus Pesantren Krapyak Jogjakarta dan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini, menulis "Corona, Rabiah dan Umi Kultsum". Berikut ulasan bagian pertama:
Kondisi "globalized turmoil and turbulence" (gonjang-ganjing global) saat ini adalah merupakan dampak langsung dari Corona yang “mendiaspora” di hampir semua negara. Ketakutan dunia terhadap virus pencabut nyawa ini telah begitu nyata, demonstrable dan “burhani” yang tak bisa disangkal. Tatanan dunia berubah “mbuletly and ruwetly” dalam waktu singkat akibat Covid-19 ini.
Corona juga memiliki kekuatan “geopolitic dan geostrategic” dahsyat untuk memaksa semua negara gelisah dan “bersatu” menghadapi “the common enemy – musuh bersama”. Saya menyebut “jotosan” melawan corona ini dengan GW-OCC (Global War on Combatting Corona, baca: GuWe Ocece) perang global menghajar corona.
Sebagai orang yang pernah meneliti jejaring teroris internasional, istilah GW-OCC saya adopsi dari gerakan global untuk memerangi terorisme yang dikenal dengan G-WOT (Global War on Terrorism).
Salah satu misinya G-WOT adalah menghentikan persenjataan teroris yang populer -ketika itu- dengan sebutan CBRN (Chemical, Biological, Radiological and Nuclear) Weapons yang dikategorikan dalam rumpun senjata pemusnah massal atau WMD (Weapon of Mass Destruction).
Fenomena virus corona dalam perspektif santri sebenarnya “inline” pararel dengan tradisi keilmuan pesantren bahwa “ziarah kubur” bisa mengingatkan kematian. Corona adalah sinyal pengingat kematian. Lupa kematian akan memunculkan “qaswatul qalbi” hati yang keras dan memproduk watak hedonisme duniawi yang overload. Pesan teologis dalam ziarah kubur adalah Fenomena Corona itu sendiri.
Para santri yang rajin mutala’ah pastilah mengenal karya Imam Al-Qurtubi yang memaparkan komprehensif dan komplit tentang kematian. Kitab tersebut berjudul “Al-Tazkirah bi ahwali mauta wa umur al-akhirah” yang dicetak dalam 3 jilid.
Sufi perempuan legendaris, Rabiah Adawiyah tidak pernah merasa takut kematian. Sufi yang dikenal peletak dasar “tasawuf mahabbah – cinta” ini menganggap kematian adalah awal kebahagian yang sangat dinantikan. Awal perjumpaan dengan “Allah - Sang Kekasih” yang pernah terekspresikan dalam bait-bait syair:
“Minni salamun ala man lastu ansahu, wa la yamullu lisaniy qattu an zikrihi, iza ghaba anni fainnal quluba maskanuhu, wa man yakunu fi qalbi fakaifa ansahu”.
Artinya: Salamku untuk Allah yang tak pernah aku bisa melupakanNya, lidahku pun tak pernah bosan untuk menyebutNya. Ketika Dia pergi dariku, hati inilah rumahNya, Dia yang selalu di hatiku, tak mungkin aku bisa melupakanNya. (bersambung)