Global Wisdom Society
Pandemic ini telah mendorong miliaran manusia penduduk bumi masuk ke kolong rumahnya masing-masing. Tak ada beda. Berpangkat atau yang rakyat jelata, semua sama. Ini seperti zaman sangkakala ditiup dimuka bumi; senyap!
Semua manusia menggigil ketakutan. Semua orang membunuh dengan sendiri kesombongan mereka masing-masing. Mereka ketakutan virus Corona asal Wuhan China itu merayap ditangannya, dimulutnya, atau dihirup batang hidungnya.
Semua pemegang kuasa lagi mengkerut karena kekuasaannya tak lagi berguna. Tak ada lagi rakyat yang bisa dia hisap. Tak ada lagi rakyat yang bisa mereka lindas. Tak ada lagi rakyat yang bisa dihakimi seenak perutnya. Juga tak ada lagi rakyat yang bisa diperlakukan semena-mena. Sebab kekuasaan mereka itu telah mati diatas ketakutan pada Corona.
Pangkat mereka jatuh, kewenangan mereka tak berguna, dan kesombongan mereka atas nama segala yang artifisal itu tumbang ditengah gencarnya topan Corona.
Corona mengajari manusia bahwa mereka sama. Makhluk Tuhan yang hina.
Corona mengajarkan kita persamaan derajat. Corona mengajarkan kita kebijaksanaan yang mendunia. Corona membimbing kita menuju masyarakat global yang bijak (Global Wisdom Society). Masyarakat dunia yang mengerti dan menunjukkan tinggi makna betapa pentingnya humanitas itu sendiri.
Masyarakat dunia yang tunduk pada hukum- hukum kausalitas alam yang hakiki. Masyarakat dunia yang egaliter, penuh empati.
Bukan masyarakat yang intimidatif, sangar, congkak, sok tahu, angkuh, petentang petenteng dan jenis kawanannya itu.
Bumi, wahai bumi, engkau telah menunjukkan caramu membersihkan diri sendiri. Hingga para perusak hutan sebagai paru-paru dunia itu sadar kembali. Bahwa memegang hak atas HPH itu adalah para penjahat bumi.
Para penjahat yang merusak pepohonan lebat jadi gundul sana-sini. Penjahat yang membongkar bumi hingga bolong sana sini. Mencuri batu bara dan mineral-mineral bumi. Lalu mereka kabur menikmati hasil menjarah secara sadis harta bumi. Mereka berpesta pora atas nikmat bumi yang dahulu asri murtiningati.
Para penjahat itu telah membuat bumi panas kebakaran terus menerus setiap kemarau datang. Tapi para komprador kekuasaan itu dengan tenang melindungi mereka. Padahal penduduk hutan semacam harimau gelisah, badak tak galak, monyet mengernyit, orang utan tak jantan, singa hanya menganga, harimau hanya mengigau. Sementara burung-burung tak lagi bersiul tanda dunia berkabung. Semua itu akibat ulah para penjahat hutan.
Bagaimana pula dengan manusia suci? Pada masa itu, Kiai hanya memilih diam dalam sunyi. Mereka berdoa penuh harap doa-doanya itu kembali. Tapi, Tuhan diatas Arsy sana tak peduli. Sebab doa-doa kiai politik istana itu belumlah murni. Doa-doa mereka adalah doa-doa yang penuh kebusukan, doa-doa pesanan yang tidak hakiki.
Doa-doa para pemuja kekuasaan itu hanyalah topeng-topeng yang menjijikkan. Sebab tempat orang yang benar-benar suci itu bukan disekitar singgasana kekuasaan. Doa orang suci itu ada dalam dada-dada sesak kaum dhuafa, kaum yang renta tak berdaya. Doa orang suci itu terpaut dalam hati kaum beriman yang sejati, bukan iman yang warna-warni; kadang kesana, kadang kesini tergantung jenis transaksi.
Pada yang demikian itu, doa adalah bagian integral dari kejahatan moral anak manusia yang tak tahu balas budi. Anak manusia busuk yang mengaku suci; dengan balutan surban basa basi.
Bagaimana dengan si Pastur? Mengapa doa-doa mereka juga tak lagi kembali. Doa mereka justru melesat menembus langit lapisan ozon yang bolong oleh keras aksi merusak bumi. Kini, mereka hanya berdiri sendiri di atas altar yang sepi. Jemaat mereka ketakutan dengan muka yang pasi.
Bagaimana dengan Vihara? Tempat suci yang estetik itu juga sepi; tiada yang datang lagi. Ini memang ironi penduduk bumi. Ketika sangkakala berbunyi, ketika burung-burung kepanasan oleh dosa-dosa manusia yang berlomba merampas ekosistem yang dulu harmoni.
Oh Tuhan, mengapa engkau timpakan semua ini pada penduduk bumi? Padahal diantara mereka ada juga yang sangat taat mengikuti perintahmu. Menjalankan tugas-tugas suci membesarkanmu. Meminta ampun pada-Mu dalam sepertiga malam yang hening sepi. Mereka hanya ingin berkhalwat menuju cintamu. Menuju kasihMu. Menuju SurgaMu. Menuju RidhaMu.
Fathorrahman Fadli,
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)