Giliran DKS dan BMS akan Dibongkar, Surabaya Jadi Kota Bar-bar
Setelah membongkar masjid Assakinah di komplek Balai Pemuda, kini Pemkot Surabaya akan membongkar gedung di belakang masjid yang selama ini dipergunakan dua lembaga kesenian tua yaitu Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Bengkel Muda Surabaya (BMS).
Sama seperti saat masjid akan dibongkar, tanpa sosialisasi, dengan arogan Pemerintah Kota Surabaya melalui Sekretaris Daerah pekan ini melayangkan surat bertanggal 19 Okktober 2017 kepada DKS dan BMS yang isinya, menindaklanjuti hasil rapat kordinasi pada tanggal 12 Oktober tahun 2013 di kantor Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman-Cipta Karya dan Tata Ruang, bersama ini kami sampaikan pemberitahuan bahwa Pemkot Surabaya segera melaksanakan pembangunan Gedung Type B DPRD Kota Surabaya., dan gedung Kesenian Surabaya terkena rencana pembangunan dimaksud. Tertanda Asisten Administrasi Umum, Ir. Hidayat Syah.
Masjid Assakinah, DKS dan BMS sudah berada di komplek Balai Pemuda sejak 1970. Masjid Assakinah dan gedung DKS serta BMS sudah dua kali dibongkar untuk pembangunan gedung DPRD Surabaya yang sekarang beridri. Kini semuanya akan dibongkar lagi untuk perluasan gedung DPRD dengan 8 tingkat senilai Rp 60 miliar.
Selama ini Balai Pemuda adalah oase kebudayaan, tempat para seniman dari Surabaya lahir antara lain pemusik Leo Kristi, Gombloh, Franky Sahilatua, para peluksi Amang Rahman, Krishna Mustajab, Oh Supono, Daryono, dramawan Basuki Rahmad, Bawong SN, Hari Matrais, dan masih banyak lagi, yang semuanya sudah almarhum. Sementara mereka yang masih hidup antara lain Hare Rumemper, Wally Sherdil, Bambang Jon, Amir Kiah, Akhudiat.
Mereka semua lahir dari komplek Balai Pemuda. Sementara kantor DPRD melahirkan para koruptor, beberapa diantara masuk penjara. Politik telah mengguusur kesenian.
Menurut budayawan Prof. Hotman Siahaan, di Surabaya, kesenian dan kebudayaan makin termarjinalkan. “Kota yang mendapat puja puji nasional bahkan internasional sebagai kota bersih dan indah dengan taman-tamannya, justru sangat tidak berbudaya,” katanya.
“Saya menyampaikan gugatan kepada pemerintah kota dan legislatifnya, kehidupan politik tanpa berbudaya adalah politik yang bar-bar. Dan inilah yang saat ini terjadi di Surabaya,” katanya. (nis)
Advertisement