Gereja dan Makanan Enak
Ini pengalaman saya. Cara gampang mencari makanan enak, adalah cari gereja. Biasanya di kanan-kirinya, akan ada restoran atau warung makan yang enak.
Contohnya di tempat saya tinggal, di Kota Bogor. Di Jalan Sudirman, ada Gereja GPIB Bethel. Di sampingnya, ada Sop Buntut Ma Emun yang legendaris. Juara sop buntutnya.
Jangan heran, sekira ada empat kedai dengan memakai nama serupa. Maklum sekarang sudah di generasi penerus. "Sekarang anak, keponakan, dan cucunya banyak yang membuka warung," jelas teteh pemilik warung.
Generasi pertama dirintis oleh Siti Maemunah. Kabarnya Ibu Maemunah yang akrab disapa Ma Emun berjualan sop buntut sejak 1970-an. Tempat pertama ditempati oleh anaknya. Yang lainnya menyebar di seantero Kota Bogor.
Yang khas dari sop ini, dagingnya terlihat berwarna merah muda. Kuahnya bening, namun gurihnyanya pas. Sayurnya hanya potongan wortel, sedikit kembang kol, dan daun bawang.
Dagingnya empuk sekali. Rumusnya apa? "Direbus yang lama," sambung teteh sambil tertawa.
Yang pasti, di sepanjang jalan utama Kota Bogor ini, berjajar beragam kedai lainnya. Dari mie yamin hingga spot warung kaki lima. Ada juga Warung Nasi Kebuli, punya umi teman saya yang enak sekali.
Atau kalau banyak waktu, bergeserlah ke Jalan Suryakencana Bogor. Ada beberapa gereja di sana. Area itu juga salah satu spot wisata kuliner di tempat tinggal Presiden Joko Widodo.
Di sini ada puluhan kedai Soto Bogor. Langganan saya hanya satu, punya keturunan hadramaut, yang hanya buka dari jam empat sore dan tutup selepas maghrib.
Ada juga ayam serundeng yang enak. Beragam mie. Kalau yang suka non halal juga ada. Yang spesial, ada martabak manis Bangka khas peranakan. Yang jual Engkoh Encek yang sudah sepuh.
Mulai buka, menurut kabar, sejak 1975. Loyangnya cuma dua. Masaknya pakai arang. Antrenya panjang, biasanya tiga jam sudah ludes. Harus kuat mental dan sabar menunggu.
Bila melawat ke Kota Semarang, sempatkan mampir di kawasan kota tua. Cari saja Gereja Blenduk. Itu lho, yang saat misa malam Natal 2020 dikunjungi Menteri Agama Yaqut Cholil.
Di depan gereja itu Gedung Marba yang merah bata. Di sampingnya, mepet gedung pas, ada warung nasi koyor yang sangat legendaris. Generasi pertama sudah berdagang sejak 1950an.
Saat ke Semarang, saya pasti usahakan mampir ke sana. Daging koyornya, empuknya setengah hidup. Bikin kecanduan. Rahasia utama, ngerebusnya juga lama. "Sampai empat jam," jelas Bu Latif, sang penenus.
Biasanya kalau makan di sini, nasi gudegnya cukup setengah porsi. Tapi untuk koyornya, saya bisa tambah beberapa kali. Tapi memang urusan selera bisa beda.
Saat mengajak keluarga melawat ke sini, baik istri dan anak-anak saya memilih makanan berat yang kekinian. Saya makan sendirian di sini.
Terakhir mampir ke sini, saat menjemput bapak dan bunda pulang dari rumah sakit, setelah dirawat di RS Panti Wilasa Citarum, pada minggu pertama Desember lalu. Cita rasanya konsisten dan tetap enak banget seperti biasa.
Di belakang gereja tua dan di depannya, juga ada warung sate kambing yang terhitung lama. Enak juga. Jadi rujukan para penikmat olahan daging kambing.
Bisa jadi, awalnya para pemilik kedai itu, menyasar para jemaah yang selesai ibadah. Mungkin, mereka belum makan saat ke gereja. Lantas memilih menikmati hidangan di kedai sebelum pulang ke rumah.
Namun, tetap saja, konsumen selalu punya selera. Lidahnya jadi alat ukur paling wahid. Dia bisa mengalahkan indera mata bila itu terkait tampilan warung.
Rasa tetap utama, mau kaki lima atau restoran, itu sama saja. Bila tak enak, pasti ditinggal dan pindah ke warung lain lagi. Tapi, bila enak, dia bisa bertahan beberapa generasi.
Oh ya, apakah ada hubungan lainnya antara gereja dan tempat makanan enak? Apakah tidak bisa dihubungkan dengan aspek lainnya? Misalnya kebudayaan, akulturasi cita rasa, atau prespektif sosiologis lainnya?
Yang pasti, akulturasi makanan lebih banyak lewat budaya pendatang. Baik itu peranakan, hindustan, atau hadramaut. Semua membawa ciri khas, dan tentu ditambahan sentuhan lokal.
Contoh sederhana, sekoteng. Konon, asal mula katanya dari bahasa Hokkian. Su ko thung atau si guo tang, yang artinya sup empat buah-buahan. Tapi hampir pasti, lidah kita yang tebal susah melafalkannya.
Jadilah dia menjadi sekoteng. Minuman ini terdiri dari rebusan gula merah dan jahe. Lantas ditambahi isi yang selaras dengan yang ada di Indonesia.
Yang paling nyesek hati, tentu soto. Bagi kita, ini adalah kudapan lokal. Setiap kota, bahkan punya merek sendiri-sendiri. Dari Tauoto Pekalongan, Soto Bogor, Soto Kudus, Soto Makasar, atau raja diraja Soto Lamongan, yang di setiap pinggir jalan ada.
Nyatanya, banyak penelitian menyebut, soto bukti otentik perpaduan budaya antara Indonesia, Tiongkok, dan India. Kalau dari bahasa, awalnya juga dari Bahasa Hokkian. Caudo, atau “sauto”, seiring jalan jaman, dia berganti menjadi soto. Yang khas di Indonesia, ada rempah kunyit yang jadi pembeda soto kita.
Yang pasti, di akhir Desember ini, saya hanya ingin mengucapkan selamat hari Natal bari para kerabat yang merayakan. Semoga kasih, damai, dan kegembiraan menyertai.
Mohon selalu jaga kesehatan dengan mempraktikkan protokol Covid. Dan ini yang penting, jangan lupa, terus cari makanan yang enak.