Gerbang Surga, Orang yang Menyadari Kematian
Orang-orang sufi sering digambarkan sebagai figur yang tak lagi berpikir soal dunia. Dalam tindak, laku dan aktivitas hidupnya, semata-mata beribadah dan mencari ridha Allah Ta'ala.
Kisah-kisah sufi tentang "Gerbang Surga", dan tentang "Orang yang Menyadari Kematian" menjadi menarik untuk direnungkan bersama. Ini kisahnya:
1. Gerbang Surga
Zaman dahulu ada seorang lelaki baik hati. Ia telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang memungkinkan orang masuk sorga. Ia menolong orang miskin, mengasihi sesamanya, dan melayani mereka. Mengingat pentingnya kesabaran, ia bertahan menanggung kesulitan besar yang terkadang tak terduga, dan sering kali ini dilakukannya demi kebahagian orang lain.
Ia pun berkelana ke berbagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahan hati dan perilakunya yang pantas ditiru dikenal dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan; orang-orang memujinya sebagai seorang bijaksana dan warga yang baik.
Segala kebajikan ia jalankan kapan pun ia ingat untuk melakukannya. Namun, ia mempunyai satu kekurangan yaitu kurang perhatian. Kecenderungan ini memang tidak begitu kuat, ia menyadarinya, dan bila dibandingkan dengan semua kelebihanya, kekurangan itu sungguh hanyalah cacat kecil saja.
Ada sejumlah orang miskin yang belum ditolongnya, sebab dari waktu ke waktu ia kurang perhatian terhadap kebutuhan mereka. Cinta kasih dan pelayanan pun kadang terlupakan apabila apa yang dipikirkannya adalah keperluan atau hasrat pribadi yang muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang ketika ia sedang tidur, kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya, atau melaksanakan kerendahan hati, atau menambahkan jumlah tindakan-tindakannya yang baik, kesempatan-kesempatan serupa itu lewat begitu saja, dan tidak kembali lagi.
Sama seperti karakternya yang baik meninggalkan kesan pada diri sejatinya, begitu pula karakternya yang buruk tadi.
Kemudian, ia meninggal. Menyadari dirinya berada di alam baka, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman Bertembok, orang itu berhenti sebentar. Ia menguji kata hatinya. Ia merasa mempunyai kesempatan yang besar untuk memasuki Gerbang Mulia itu.
Tiba-tiba, dilihatnya gerbang itu tertutup; lalu terdengar suara berkata kepadanya: "Berjaga-jagalah senantiasa; sebab gerbang ini hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun tinggal di sana menunggu, penuh gairah menantikan dibukanya kembali gerbang tersebut. Tetapi, mengabaikan kesempatan untuk melakukan kebajikan bagi manusia, ia mendapati bahwa kemampuannya untuk memperhatikan tidaklah cukup bagi dirinya.
Setelah berjaga terus selama waktu yang rasanya sudah seabad, kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja kelopak matanya menutup. Dan dalam saat yang sekejap itu gerbang pun terbuka. Sebelum mata lelaki itu benar-benar terbuka kembali, gerbang itu pun tertutup dengan suara gemuruh yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang mati.
Catatan:
Kisah ini merupakan bahan ajaran darwis yang disukai, kadang- kadang disebut 'Perumpamaan tentang Kurangnya Perhatian.' Walaupun dikenal sebagai cerita rakyat, asal usulnya tidak diketahui.
Beberapa orang menganggapnya berasal dari Hadrat Ali, Khalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah ini begitu penting sehingga disampaikan oleh Nabi sendiri, secara rahasia. Yang pasti, kisah ini tidak ditemukan dalam Hadits Nabi yang sahih.
Bentuk sastra yang ditampilkan di sini berasal dari karya seorang darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil-Baba, yang naskah-naskahnya menekankan bahwa 'pengarang sejati adalah dia yang karangannya tanpa nama karena dengan cara itu tak ada yang berdiri di antara pelajar dan yang dipelajarinya.'
2. Orang yang Menyadari Kematian
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya.
Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis, "saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
Catatan:
Kisah ini karya Bayazid dari Bistam, suatu tempat di selatan Laut Kaspia. Ia salah seorang Sufi terbesar zaman lampau, dan wafat pada paruh akhir abad kesembilan.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
Sumber:
Idries Shah, Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.