Gerakkan Seribu Lilin, Para Penunggang Bebas dan Para Pencipta Badai
Ini bukan cerita tentang Ahok maupun Ahokers. Ini cerita para penunggang bebas _(free riders)_ dan pencipta badai _(the hurricane maker)_ yang tengah memanfaatkan momentum kekecewaan Ahokers ketika jagoannya kalah.
_Free riders_ sebenarnya sebuah istilah dalam ilmu ekonomi untuk menggambarkan seseorang yang menerima manfaat dari kepentingan publik tanpa memberi kontribusi atau membayar biaya apapun.
Pengertian gampangnya adalah orang yang maunya gratisan saja.
Istilah ini kemudian diadopsi dalam ilmu politik untuk menggambarkan kelompok-kelompok kecil yang memanfaatkan kekacauan situasi politik, untuk kepentingan mereka sendiri.
Sementara para pencipta badai adalah mereka yang menciptakan sebuah momen politik dan momen politik itu kemudian didorong untuk menjadi kekacauan politik.
Tujuannya sama, untuk mendapatkan sesuatu dari sebuah situasi politik. Hanya bedanya para _free riders_ adalah penunggang gratisan, sementara _the hurricane maker_ perlu modal. Besar kecilnya modal yang diperlukan tergantung pada situasinya.
Para penunggang bebas dan para pencipta badai ini bertemu dalam sebuah peristiwa yakni momentum kekecewaan Ahokers akibat jagoannya Ahok kalah dalam pilkada dan kemudian dipidana penjara dua tahun.
*Para penunggang bebas*
Siapa para penunggang bebas ini? *Pertama,* para Oligarki yang memanfaatkan Ahokers. *Kedua,* kelompok-kelompok _outsider._
Para penunggang bebas terdiri dari Ahokers _diehard, hardliners,_ garis keras, dan radikal yang sejak awal melihat tampilnya Ahok dalam kontestasi pilkada sebagai momentum mereka untuk membuat sebuah _roadmap_ baru peta politik Indonesia.
Kelompok ini jumlahnya sangat kecil, namun sangat radikal dan militan. Kelebihan lain dari mereka adalah ditopang dana yang sangat besar.
Mereka adalah proxy dari kelompok Oligarki yang sedang mencoba mewujudkan menyatunya KEKAYAAN dan KEKUASAAN di dalam satu tangan.
Oligarki ini terdiri dari para pemilik modal, oknum di pemerintahan, segelintir oknum di kalangan aparat keamanan, kalangan hukum, pemuka agama, politisi, akademisi, LSM, media massa dan masih banyak elemen-elemen lainnya.
Kegagalan mereka di Pilkada DKI membuat mereka marah dan kemudian menciptakan badai yang dikenal dengan strategi _Tiji Tibeh_. Kalau gua mati, semua juga harus mati. Politik BUMI HANGUS.
Kelompok kedua di kalangan penunggang bebas adalah mereka yang selama ini berada di luar sistem politik dan pemerintahan, _outsider._
Mulai dari kelompok liberal, kiri, PKI, komunis gaya baru, dan kelompok-kelompok kepentingan lain, kelompok keagamaan yang selama ini termarjinalkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah segelintir minoritas arogan yang lupa diri.
Kelompok ini agendanya tidak jelas dan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Tapi mereka melihat kalahnya Ahok sebagai momentum. Jadi mereka ikut terjun dan targetnya membuat lapangan menjadi becek.
Sayangnya para Ahokers sejati tidak menyadari itu karena mereka larut dalam eforia dan merasa mendapat banyak dukungan. Padahal para penunggang bebas ini sesungguhnya tidak terlalu peduli apakah Ahok menang ataupun dia dipenjara.
Salah satu contoh agenda berbahaya para penunggang bebas ini adalah ketika berlangsung aksi seribu lilin di Palembang. Ketika tiba waktu shalat Isya dan adzan tengah berkumandang dari Masjid Agung, mereka menyambutnya dengan teriakan huuuuu…. Ada yang menggambarkan teriakan mereka seperti lolongan serigala! Penggambaran yang berlebihan, tapi menunjukkan betapa Umat Islam sangat tersinggung.
Aksi ini sungguh sangat berbahaya. Ahokers sejati yang beberapa diantaranya beragama Islam tahu persis bahwa adzan adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjamaah. Sebuah seruan tertinggi untuk memenuhi panggilan Allah SWT.
Ahokers sejati yang non muslim pun pasti sangat tahu, bahwa masalah keyakinan agama ini jangan sampai diganggu. Cukup sudah badai yang melanda Ahok karena menista aqidah umat Islam.
Teriakan huuuuuu saat berkumandang pastilah dilakukan oleh para atheis, liberal dan komunis yang memang tidak menghargai nilai-nilai keagamaan.
Kalau ada Ahokers ikut berteriak, mereka hanya ikut-ikutan karena larut dalam eforia.
Inilah bahayanya pengumpulan massa yang bersifat cair seperti gerakan seribu lilin. Sangat rawan penyusupan. Tidak mudah mengontrolnya.
Kalau mau bikin gerakan lagi tidak ada salahnya belajar dari koordinator lapangan Aksi Bela Islam. Bagaimana caranya mengelola jutaan massa.
Bagaimana caranya menjaga mereka tidak menginjak sehelai rumput pun.
Bagaimana caranya membersihkan sampah dan menjaga lokasi aksi tetap bersih.
Jangan lupa paling penting menjaga toleransi kehidupan beragama seperti ditunjukkan oleh laskar FPI yang mengawal sepasang pengantin yang akan menikah di Katedral Jakarta.
*Para pencipta badai*
Siapa para pencipta badai ini? Mereka adalah pemodal yang kuat dan Ahokers radikal dari kalangan kelas menengah.
Coba perhatikan sekuen yang mereka bangun. Tak lama setelah Ahok kalah muncul gerakan seribu karangan bunga yang membanjiri Balai Kota DKI.
Apakah Ahokers jelata bisa melakukannya? Pasti tidak. Harga sebuah karangan bunga paling murah Rp 700 ribu. Tidak mungkin dibeli oleh para Ahokers jelata yang dalam setiap aksi berharap mendapat uang transport dan nasi bungkus.
Ribuan karangan bunga di Balaikota DKI nilainya bisa mencapai miliaran rupiah. Itu hanya bisa dilakukan oleh para pemilik modal yang kuat. Sayangnya aksi seribu karangan bunga ini gagal menjadi sebuah gelombang apalagi menjadi badai.
Penyebabnya jelas, karena ini bukan aksi populis. Bukan aksi yang mudah ditiru. _Not easy to imitate._
Mereka kemudian mencoba mencari modus baru antara lain gerakan seribu balon dan gerakan seribu lilin. Nampaknya yang berhasil mereka lakukan adalah gerakan seribu lilin. Mengapa?
Lilin mudah dan murah harganya. Menyalakan lilin di malam hari secara visual lebih menarik dibandingkan dengan seribu balon. Jadi cocok untuk konsumsi media maupun medsos.
Gerakan seribu lilin mendapat momentum karena polisi yang biasanya garang membubarkan aksi-aksi yang melewati batas waktu pukul 18.00, ternyata membiarkan aksi-aksi Ahokers di depan LP Cipinang maupun Markas Brimob di Kelapa Dua, Depok sampai jelang tengah malam.
Jadi kalau orasi saja dibiarkan, maka gerakan lilin pasti juga akan dibiarkan. Dugaan atau info yang tidak keliru.Satu lagi kelebihan gerakan seribu lilin sangat mudah ditiru.
Jadilah gerakan seribu lilin sebuah gelombang baru yang diduplikasi di berbagai kota di Indonesia dan dunia.
Gelombang gerakan seribu lilin di berbagai penjuru ini kemudian dibuat massif dengan target menjadi badai.
Sebuah badai yang diarahkan untuk menghancurkan kredibilitas dan citra Indonesia di mata dunia. Sebuah badai yang bisa mengancam disintegrasi bangsa.
Jangan remehkan teriakan huuuuuuu… ketika adzan isya berkumandang di Masjid Agung Palembang. Itu bisa mendorong konflik SARA yang mengerikan. Jika para penunggang bebas mengkapitalisasinya, bisa menjadi badai yang dahsyat.
Syukurlah umat Islam cukup dewasa dan tidak terpancing. Bila terpancing maka target penunggang bebas memanfaatkan gelombang menjadi badai akan terwujud sempurna.
Jadi Ahokers sejati dan umat Islam harus waspada. Jangan mudah terpancing. Jangan mudah terprovokasi.
Untuk para Ahokers sejati, pikir dan pertimbangkan masak-masak jika ingin kembali membuat sebuah aksi.
Apa target para penunggang bebas dan pembuat badai ini? Nah soal ini yang belum terbaca dengan jelas. Pasti ada kepentingan besar di balik semua aksi ini.
*Suatu kekuatan besar yang tengah mengincar dan punya kepentingan besar pula di Indonesia.*
Belajar dari berbagai konflik di dunia, terutama yang terjadi di Timur Tengah. Motifnya tidak jauh-jauh dari soal sumber daya alam dan ekonomi.
Meminjam sebuah teori dalam kriminologi KEJAHATAN DAPAT TERJADI KETIKA ADA NIAT DAN KESEMPATAN.
*So jangan beri kesempatan kekuatan-kekuatan asing yang bekerjasama dengan kolaborator di dalam negeri untuk menjalankan aksinya menghancurkan dan kemudian merebut Indonesia. Negeri kita adalah negeri yang kaya. Hanya ironisnya rakyatnya hanya sebagian kecil saja yang kaya. Salam Merdeka!* End
Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik