Gerakan Petani Millenial di Kota Batu Lawan Dominasi Pupuk Kimia
Saban pagi, Ramadani Ragil atau biasa dipanggil Ryan, usia 29 tahun, berangkat untuk menggarap lahan pertanian kentang dan sawi. Luasan lahan yang digarap mencapai 280 ribu meter persegi di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
Lahan itu didominasi oleh tanaman kentang. Mayoritas warna abu-abu. Tanda daun kentang sudah kering dan siap untuk segera dipanen.
Sementara sebagian kecil lahan ditanami sayuran sawi. Penanaman sawi di lahan sekitar 200 meter persegi ini ditujukan untuk riset.
“Sawi ini kami tanam untuk riset penanganan penyakit akar gada. Saat awal-awal semua kena penyakit, 100 persen kena. Tapi sekarang sudah berkurang hingga 80 persen,” ujarnya pada Selasa, 12 September 2023.
Riset ini dilakukan oleh Ryan bersama dengan Kelompok Pemuda Tani Abinaya Milenial. Anggota dari kelompok tani ini mencapai 30 orang dengan rentang usia 23 tahun hingga 31 tahun. Terbentuk sekitar 2019 lalu.
Kelompok Pemuda Tani ini kemudian melakukan riset terkait masalah penurunan produksi panen. Masalahnya ada pada kualitas tanah yang menurun. Akibat tercemar pupuk sintetis.
“Lahan seluas 400 meter persegi biasanya bisa dapat satu ton. Berkurang menjadi tujuh kuintal. Kami cari masalahnya. Tanahnya sudah mulai rusak,” katanya.
Desa Sumberbrantas diberkati tanah yang subur. Sepanjang perjalanan terbentang lahan pertanian sayur. Suhu di desa yang berada di ketinggian 1.400 hingga 1.700 mdpl ini begitu menusuk, dingin dan kering.
“Rata-rata di sini menanam kentang, wortel ada juga bayam. Bahkan, ada juga yang sampai mengirim (sayur-mayur) ke Papua Nugini,” ujarnya.
Suburnya tanah di Desa Sumberbrantas ini menjadi agenda utama dari Kelompok Pemuda Tani Abinaya Milenial untuk melakukan revitalisasi. Proses revitalisasi dilakukan dengan pemberian arang sekam, agen hayati seperti cacing, bakteri, serangga dan terakhir, yaitu penggunaan pupuk organik.
“Pupuk organik kami usahakan yang sudah terkompos dengan sempurna. Kami pakai daun kipahit sama kascing (pengomposan yang melibatkan cacing tanah hingga kotoran sapi),” katanya.
Bahan-bahan ini lalu dimasukkan ke alat dekomposer kreing. Setelah itu pupuk organik sudah siap digunakan. Penggunaan pupuk organik ini terhitung lebih efisien dibandingkan pupuk kimia.
“Untuk perbandingan di lahan seluas 400 meter persegi, penggunaan pupuk kimia mencapai 30 kilogram dalam sekali periode tanam. Sementara untuk pupuk organik hanya 10 kilogram,” ujarnya.
Kekurangan dari pupuk organik ini, kata Ryan, hanya satu saja, yaitu terkait keluarnya tenaga yang berlebih dibandingkan penggunaan pupuk kimia. Artinya membuat petani lebih repot.
“Untuk pupuk sintetis dalam satu musim tanam (sekitar 3-4 bulan) itu hanya butuh dua kali pemupukan. Sementara pupuk organik butuh lima sampai enam kali pemupukan. Jadi lebih sering diberikan,” katanya.
Saat ini, Kelompok Pemuda Tani Abinaya Milenial sudah bisa mengurangi 40 persen penggunaan pupuk kimia pada lahan kentang mereka. Selain itu, produksi panen pun meningkat karena kualitas tanah yang berangsur membaik.
“Dari awal penurunan itu tujuh kuintal. Sekarang sudah mulai ada peningkatan produksi sekitar 10 persen,” ujarnya.
Ryan berharap agar petani bisa lepas dari ketergantungan dari pupuk kimia. Selain lebih mahal, sekarang juga sudah mulai langka. Banyak kelompok tani yang berebut pupuk bersubsidi.
“Petani harus berdikari. Banyak yang protes pupuk langka. Bisa buat sendiri, gunakan pupuk organik. Banyak mindset petani, kalau tidak pakai pupuk kimia tidak bisa tumbuh tanaman. Ini kami bisa membuktikan,” katanya.
Kebutuhan akan pupuk organik ini sebenarnya sudah mulai disuarakan oleh beberapa kelompok tani di Kota Batu. Salah satunya Kelompok Tani Maju Bersama Desa Tulungrejo, Kota Batu.
Kelompok tani ini mengeluhkan kualitas tanah yang sudah mulai menurun. Hal ini menyebabkan produksi apel mereka menurun. Bahkan, Wakil Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Utomo mengatakan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Batu harus turun tangan memberikan pupuk organik kepada petani.
"Jangan diberikan pupuk kimia, karena nanti produksi apel tidak akan bertambah," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Harijadi Agung mengatakan bahwa mengatakan bahwa pihaknya sudah menganggarkan sebesar Rp530 juta yang di dalamnya termasuk untuk bantuan bibit apel hingga revitalisasi lahan.
"Kami sangat mendukung penggunaan pupuk organik untuk bisa meningkatkan unsur hara pada tanah," katanya.
Advertisement