Gerakan Milenial, Demo Mahasiswa
Saya tidak setuju jika mahasiswa sekarang dianggap kehilangan arah. Dianggap tidak tahu apa yang harus diperjuangkan dalam kancah politik nasional.
Sungguh sangat tidak adil membandingkan mahasiswa kini dengan pada zaman dulu. Misalnya dengan gerakan 1965, 1974, 1978 maupun gerakan mahasiswa 1998.
Tahun yang disebut diatas memang gerakan mahasiswa yang tercatat sejarah. Yang menghasilkan berbagai perubahan setelah gerakan para pemuda saat memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tapi menganggap generasi sekarang tak punya peran? Ah nanti dulu. Saya selalu meyakini bahwa setiap zaman ada orangnya, setiap orang punya zamannya. Tidak pernah satu generasi memonopoli peran selamanya.
Memang gerakan mahasiswa dari berbagai zaman itu menghasilkan perubahan. Terutama dalam bidang politik. Mulai dari perubahan kepemimpinan nasional sampai dengan kebijakan.
Lantas apa yang diharapkan dari petan mahasiswa sekarang? Rasanya merekalah yang harus merumuskannya. Tidak mungkin kita yang sudah generasi tuwir --sebutan untuk generasi tua-- mampu menyelami apa yang sedang dipikirkan mereka.
Bahwa ada nilai-nilai dasar yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya itu ya. Namun memaksakan mereka berpikir dengan cara kita yang tuwir itu sesuatu yang tak sesuai dengan kenyataan.
Ada nilai dasar dalam berbangsa dan bernegara yang harus terus kita wariskan dari generasi ke genarasi. Apa itu? Dasar negara, ideologi bangsa, dan spirit untuk menjadikan bangsa kita terus maju serta kompetitif dalam duni global.
Selebihnya sebaiknya diserahkan kepada mereka. Memberikan ruang sebesar-besarnya kepada mereka untuk menyampaikan pendapat dan pemikiran. Melalui berbagai forum maupun perbincangan publik yang beradab. Dalam posisi yang sepadan.
Harus diakui, tantangan generasi sekarang tak gampang. Mereka menghadapi perubahan global yang disruptif. Yang tak menentu dan belum ada pengalaman sebelumnya. Perubahan yang dipicu revolusi teknologi.
Generasi baru bangsa ini tak hanya dihadapkan pada persoalan negara bangsa yang sempit. Mereka tidak berada dalam ruang hampa yang imun dari perkembangan global. Maka bentuk gerakan pun tak mesti harus sama dengan zaman-zaman sebelumnya.
Jika dalam berbagai sisi kehidupan kini menghadapi era disruption, rasanya itu pula yang harus dihadapi para mahasiswa sekarang. Disruption adalah perubahan cara-cara berbisnis dan lainnya akibat revolusi Teknologi Informasi.
Disruption semula populer di bidang bisnis. Banyak bisnis konvensional berguguran karenanya. Muncul model bisnis baru yang merusak tatanan lama. Menyusahkan pemilik bisnis konvensional, memudahkan pelanggan.
Seringkali perubahan akibat penemuan teknologi akan merusak tatanan lama. Ada yang cepat meneyesuaikan dan ada yang tidak. Ada yang hilang dari bumi, ada yang kaya mendadak karenanya.
Pun segi kehidupan lainya. Dalam politik, saluran aspirasi yang tadinya terbatas menjadi lebih bebas. Jika dulu demo efektif dalam mendesakkan kepentingan, sekarang mungkin tak akan lagi. Demo digitial di dunia maya bisa dilakukan.
Rekayasa politik gampang terdeteksi melalui jejak digital. Seperti investigasi Narasitv tentang operasi pembakaran Halte Bus saat demo menentang Omnibus Law di Jakarta belum lama ini. Sesuatu yang sulit terlacak sebelum ada revolusi digital.
Generasi native digital pasti tak tertarik dengan demo atau unjuk rasa fisik seperti selama ini. Bahkan mereka malah menggerundel karena dianggap mengganggu pelayanan publik. Sesuatu yang dianggap penting di era sekarang.
Disruption dalam segala tata kehidupan ini jelas memerlukan kecerdasan yang lebih untuk penyesuaian. Gerakan mahasiswa menghadapi tantangan itu. Mereka harus berhadapan dengan banjir informasi, baik yang palsu maupun yang benar.
Karena itu, mengharap peran gerakan mahasiswa maupun generasi baru seperti di masa lalu bisa dianggap ilusi belaka. Mereka menghadapi era yang berbeda. Karena itu pasti menghasilkan respon yang berbeda. Belum tentu kebenaran masa lalu dianggap kebenaran masa kini.
Tapi apakah mereka tidak punya kepedulian terhadap nasib bangsanya? Rasanya tidak. Cuma ekspresi kepeduliannya berbeda dengan generasi sebelumnya. Wujud gerakannya tak akan sama dengan gerakan di masa lalu.
Mahasiswa sekarang lebih sibuk dengan proses kreatif yang produktif. Mereka bisa bekerja sambil rebahan di rumah. Mereka membangun jaringan tak hanya terbatas di area lokal maupun nasional. Mereka bisa bekerja dalam lapak global.
Apakah dinamika kekinian seperti itu akan mampu menghasilkan kepemimpinan nasional yang berkualitas di masa depan? Saya selalu percaya bahwa setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya.
Rasanya kita tak perlu risau dengan masa depan mereka. Yang terpenting adalah memberikan keteladanan yang baik sehingga bisa menjadi model bagi mereka kelak.
Seperti spirit merdeka para pendiri bangsa, seperti semangat para pemimpin yang mendorong kemajuan ekonomi bangsa melalui ideologi pembangunan, dan seperti para tokoh bangsa yang terus bersemangat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Lalu apa teladan apa yang bisa kita berikan kepada generasi baru bangsa sekarang? Ini yang patut kita renungkan bersama. Memberi teladan tentu berbeda dengan mendiktekan keteladanan. Yang pertama langkah nyata, sedangkan yang kedua hanya omong doang.
Senyampang keteladanan masih menjadi barang mahal di era sekarang, tampaknya generasi baru memang harus merumuskan sebuah gerakan bersama. Gerakan yang sesuai dengan zamannya.