Gerakan Filantropisme Dibutuhkan Umat di Tengah Bencana
Mengawali hari kedua pelaksanaan Jambore Nasional Relawan Muhammadiyah ke-2 pada Sabtu (2/12), diadakan seminar bertajuk “Pembelajaran Penanganan Bencana Era Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana.” Bertempat di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Acara yang diawali dengan sambutan Ketua LPB PP Muhammadiyah, Budi Setiawan, tersebut merupakan bagian dari rangkaian Kelas Pengurangan Resiko Bencana. Menurut Budi, acara ini tepat untuk memupuk kerelawanan dengan semangat yang berkemajuan.
Senada dengan Budi Setiawan, Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Tohari juga menyatakan bahwa untuk mewujudkan kerelawanan yang berkemajuan, dalam penanggulangan bencana tidak cukup hanya bermodalkan semangat. Tetapi juga dibutuhkan kecakapan (skill), dan skill saja juga tidak cukup. Tetapi juga perlu dilengkapi dengan kecakapan pengelolaan (managerial skill), dan kecakapan teknis (technical skill). Pimpinan MDMC, menurutnya mutlak harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan kecakapan ini.
Hajriyanto menyatakan, warga Muhammadiyah sejatinya memiliki semangat yang tinggi kepada orang lain yang sengsara. Semangat tersebut ia ungkapkan sebagai ‘teological skill’, yakni Teologi Al-Ma’un atau ideologi Al-Ma’un yang menjadi semangat amal usaha warga Muhammadiyah untuk suka berderma atas sikap welas asih dan tanpa pamrih.
Teladan al-Ma’un itu tergambar dalam kehidupan KH. Ahmad Dahlan. KH. Dahlan, tutur Hajriyanto, selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk saling menolong dan mendorong berderma karena kecintaan terhadap sesama, yang saat ini dikenal dengan istilah filantropis.
“Muhammadiyah adalah gerakan filantropisme dan voluntarisme,” tegasnya.
Lebih lanjut, dengan semangat berkemajuan Kiai Dahlan telah melakukan modernisasi zakat, sedekah, dan aksi derma. Dalam peresmian rumah sakit PKU Yogya pada 1920, Kyai Ahmad Dahlan menyatakan “hajatnya penolong kesengsaraan umum adalah menolong orang-orang yang datang tanpa melihat latar belakang suku dan agamanya.”
Selain mendorong kecintaan berderma dan voluntarisme, Kiai Ahmad Dahlan juga mendirikan Hizbul Wathan di tahun yang sama untuk mengobarkan patriotisme.
“Jadi tidak sopan jika kemudian ada yang mengajari Muhammadiyah untuk belajar tentang Pancasila dan toleransi. Sebab jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan toleransi oleh karena semangat Al-Ma’un itu,” pungkas Hajriyanto. (adi)