Gerakan Anti Tembakau Matikan Ekonomi Rakyat
Sejumlah budayawan dan kelompok masyarakat menyebut bahwa perang terhadap nikotin olahan hasil tembakau akan mematikan ekonomi rakyat penghasil tembakau di dunia. Khususnya di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton oleh Komunitas Kretek bekerja sama dengan FORSIDA (Forum Silaturahmi Mahasiswa Daerah) Universitas Airlangga.
Abhisam Demosa, mantan Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016 menyampaikan, buku ini menguliti kepentingan bisnis obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengontrolan tembakau.
Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global anti tembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.
“Siasat bermitra dengan pemerintah, otoritas kesehatan publik dan membuat propaganda kesehatan melalui jaringan media, termasuk secara sistematis mengintervensi para dokter adalah semata untuk mematikan industri tembakau. Tujuannya jelas, nikotin tidak lagi dikonsumsi melalui rokok, melainkan melalui racikan farmasi,” jelas Abhisam.
Bagi Abhisam, isu anti rokok telah berkembang di Indonesia, salah satu agenda besarnya adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang terus diperingati di Indonesia setiap tanggal 31 Mei.
“Segala kampanye anti rokok di Indonesia hari ini adalah duplikasi strategi yang sudah dibongkar Wanda Hamilton dalam Nicotine War. Menaikkan cukai tinggi, membuat peraturan yang eksesif, dan sebagainya itu, tak lain adalah untuk mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri, agar leluasa memonopoli peredaran nikotin. Bayangkan, jika IHT ini tumbang, kedaulatan pun turut terancam,” terang Abhisam.
Sementara itu, dalam perspektif kebudayaan, Budayawan Irfan Afifi menilai kebijakan dan regulasi IHT dalam negeri yang meniru kerangka kebijakan asing adalah bukti jika bangsa ini sering gamang menentukan sikap dan tidak berdaulat atas dirinya sendiri.
“Ini pernah terjadi di sektor pertanian seperti Kopra. Kesadaran kita tentang kesehatan seringkali diarahkan oleh hasil kampanye masif, bukan karena keyakinan dan kemandirian berpikir sendiri. Seperti narasi merokok sebagai sebuah kebiasaan, malah menjadi narasi menghisap rokok adalah candu hingga perokok adalah pecandu,” ungkap Irfan.
Ketidak mandirian pada level pengetahuan, lanjut Irfan, membuat bangsa Indonesia sering tidak tepat menemukan solusi atas berbagai persoalan. Masyarakat Indonesia telah lama diintervensi oleh kampanye kesehatan yang masif dan dipaksa mengamini hasil penelitian luar negeri secara mentah-mentah.
“Kita harus menjaga nalar kebudayaan, sebab itulah yang membuat kita masih bekerja membentengi rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia,” tegas pemilik Langgar.co tersebut.
Senada dengan Abhisam dan Irfan, Dosen Komunikasi Politik Universitas Airlangga, Suko Widodo menilai adanya ketidakadilan di dalam penerapan regulasi IHT.
“Sebelum melarang sebaiknya para ahli kesehatan benar-benar melakukan penelitian mengenai manfaat tembakau, karena saya yakin semua yang ada di dunia ini bukan sesuatu yang sia-sia dan pasti memiliki manfaat positif. Tembakau atau kretek ini adalah harta karun yang nilainya besar dan harusnya bisa mengangkat perekonomian di negara ini,” ujar Suko.
Suko membeberkan data, akibat kenaikan tarif cukai pada kurun waktu tahun 2015-2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47 persen. Akibat penurunan produksi rokok, serapan tembakau petani menjadi terpengaruh.