Generasi Milenial Rentan Alami Stres, Ini Penjelasan Pakar
Pakar kesehatan jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) dr. Damba Bestari, Sp.KJ, mengatakan generasi milenial yang lahir pada tahun 1981-1995 atau sekarang berusia 24-39 rentan mengalami stres karena usia yang dinamis dan sangat mengikuti perubahan.
Damba Bestari menjelaskan, bahwa kesehatan mental adalah saat suatu kondisi pikiran, perilaku, dan perasaan mengalami kesejahteraan atau wellbeing, sehingga jiwa dan raga dapat berfungsi dengan baik, baik secara sosial, pekerjaan, pendidikan, dan perawatan.
“Sehat secara mental bukan suatu kondisi yang seratus persen bebas stres, itu suatu hal yang tidak mungkin, namun bagaimana cara untuk menghadapi stres itu,” terang wanita yang biasa ia disapa dr. Dona itu.
dr. Dona menjelaskan, stres adalah suatu kondisi yang menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap segala perubahan. Jadi sebenarnya bukan selalu hal yang negatif, tetapi juga bisa positif.
Lebih lanjut, dr. Dona menjelaskan, stres adalah hal yang sangat penting, karena dengan adanya stres, seseorang bisa menghasilkan zat kortisol dan adrenalin untuk melindungi diri agar tetap produktif.
“Misal, saya disuruh mengisi webinar dengan peserta yang banyak, di situ saya ada stressor sehingga saya terpicu untuk menampilkan materi dengan sebaik mungkin,” jelasnya.
Namun, lanjut dr Dona, ketika stressor terlalu kuat maka mekanisme otak akan kacau sehingga menyebabkan gangguan. Gangguan itu tidak hanya ke masalah psikis atau mental, tetapi juga ke masalah tubuh. Dampak gangguan fungsi bisa setara dengan asma berat dan hepatitis B. Sementara stres atau pasca trauma setara dengan orang lumpuh.
“Kenapa kita sering mendengar untuk menjaga imunitas tubuh kita harus pintar mengelola stres, hal itu karena kortisol dapat merusak ke tingkat seluler jika diproduksi secara berlebihan,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata dr. Dona, meskipun generasi milenial adalah generasi yang rentan stres, tapi mereka memiliki fleksibilitas yang masih baik, sehingga itu menjadi daya tahan mereka terhadap stres. Dengan semakin banyak konten media sosial yang membahas kesehatan mental, hal itu dapat meningkatkan kesadaran mereka terhadap kesehatan mental.
Sebaliknya hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi mereka. Karena semakin tinggi kesadaran akan kesehatan mental, banyak generasi milenial yang melakukan diagnosis sendiri (self diagnosis) sehingga dapat menyebabkan cyberchondriasis atau khawatir berlebihan terhadap suatu penyakit karena mencari info kesehatan melalui internet, bukan langsung datang ke profesional.
“Meskipun saya psikiater, tapi saya tidak mendiagnosis diri sendiri, jadi harus melalui konfirmasi orang lain, karena ada yang namanya distorsi kognitif atau unsur emosional yang cenderung melebihkan atau mengurangi gejala,” ungkapnya.
Agar hal itu tak terjadi, dr. Dona berpesan agar datang ke profesional seperti psikiater atau psikolog. Hal itu bisa dilakukan tidak harus saat sakit, namun jika hanya ingin mengobrol atau curhat itu sangat dianjurkan. Selain profesional, ada orang lain yang dapat membantu seperti keluarga, teman, dan support group.
Advertisement