Genealogis Terorisme dan Implikasinya, Ini Hasil Kajian Islam
Dari perspektif ilmu sosial, dikotomi antara “Barat cinta damai” dan “Islam cinta kekerasan” sangat mudah dikritik. Pandangan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dan terorisme negara atau sipil merupakan corak eksklusif dari pemerintahan despotik Timur Tengah atau kaum fundamentalis Islam anarkis, sepenuhnya salah besar.
Hal tersebut disampaikan Zakiyuddin Baidhawy, Dewan Syariah LazisMu Pusat, dalam acara Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Studi Islam bertempat di Aula Kampus 1 IAIN Salatiga Jawa Tengah, belum lama ini.
Baidhawy melanjutkan, penggunaan kekerasan dan terorisme politik juga merupakan wajah asli Barat yang telah dan terus menciptakan perang untuk meraih hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi.
“Kita tidak lagi dapat meletakkan kekerasan dan terorisme seperti memperhadapkan antara peradaban Barat yang memandang dirinya beradab dan damai versus Timur/Islam yang barbar. Bila kita terjebak dalam oposisi biner semacam ini, maka kita telah membuat tafsir dan analisis perbandingan yang bersifat asimetris,” kata Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), pada ngopibareng.id.
Menurutnya, kekerasan dan terorisme merupakan kenyataan dalam keseluruhan sisinya, dapat mengambil berbagai bentuk, serta perbedaan karena ruang dan waktu. Inilah mengapa kekerasan dan terorisme yang dilakukan orang lain seringkali tampak lebih jelas sebagai bentuk kekerasan terlarang daripada kekerasan yang dibuat oleh sistem sosial milik kita sendiri yang dipandang wajar.
“Dengan menelusuri jejak-jejak terorisme dan kekerasan di Barat dan Timur, termasuk Islam, kita dapat mengatakan bahwa persoalan utama terorisme dan kekerasan di dunia Islam adalah reaksi atas kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan Barat, dan khususnya keberpihakan Barat dalam konflik Israel-Palestina. Sebagaimana di Barat, terorisme di dunia Islam pertama-pertama justru dilakukan oleh aktor negara (state terrorism) yang otoriter.
“Sementara itu, terorisme sipil terjadi ketika kebebasan mereka ditekan, dan pada saatnya melahirkan perlawanan dan pemberontakan atas para penindasnya. Jadi, semua problem tersebut melahirkan terorisme bukan semata untuk melawan Barat, namun juga untuk melawan tatanan politik kawasan yang tidak berkeadilan,” jelasnya.
Hal serupa dialami Indonesia, menurutnya insiden-insiden terorisme seringkali menempatkan secara semena-semena Islam/Muslim sebagai tertuduh. Bahkan terorisme juga telah melahirkan islamofobia di kalangan Muslim sendiri. Ini lahir sebagai akibat cara pandang tunggal terhadap terorisme. Kajian yang tidak komprehensif atas persoalan ini sudah tidak lagi memadai. Para pengkaji perlu mereview berbagai model dan teori mengenai bagaimana proses radikalisasi terjadi. Banyak faktor dan kombinasi berbagai alasan terjadinya radikalisasi –baik pada skala individual, sosial dan global – meski tidak selalu berujung pada terorisme.
“Keterbatasan pada kajian-kajian tentang radikalisasi dan terorisme adalah kekurangan data primer. Para pelaku yang mengalami proses radikalisasi biasanya kurang kooperatif dalam menjelaskan faktor-faktor yang mendorong mereka menuju jalan radikalisasi.
Pada saat yang sama, studi tentang terorisme dan radikalisasi berasal dari sumber sekunder, seperti informasi dari surat kabar, internet dan sumber terbuka lainnya.
“Analisis tentang karakteristik pelaku yang teradikalisasi dan peristiwa-peristiwa pasca terorisme tidak akurat mengungkapkan motivator-motivator atau prakondisi yang membuat mereka masuk dalam proses radikalisasi, serta tidak akurat dalam menggali kapan proses radikalisasi itu bermula,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan ragam motivator, titik pangkal, dan perilaku dapat berkombinasi dalam menjelaskan tentang proses gradual terjadinya radikalisasi dan lintasan menuju terorisme. Karena itu kajian-kajian dalam Studi Islam terkait problem ini mengakui pentingnya keterlibatan berbagai disiplin ilmu dan teori untuk menyingkap banyak kasus radikalisasi. Radikalisasi adalah suatu proses yang kompleks dan tidak dapat disederhanakan pada berbagai tingkatan. (adi)