Gempa Palu Sigi Donggala, Hindari MEE: Masyarakat Entek Empatinya
Dampak gempa-tsunami di Palu, Sigi dan Donggala ternyata lebih besar dari yang diperkirakan. Sampai saat ini, sudah hampir seribu lebih korban tewas ditemukan. Kerusakan parah di mana-mana.
Tapi masih banyak yang kehilangan empati. Seorang tokoh organisasi yang tak perlu disebutkan namanya, malah dengan gagah menganggap bencana Palu sebagai azab Tuhan. Karena salah satu tokohnya yang tinggal di daerah itu ditersangkakan.
Dalam perspektif agama, boleh menyakini bahwa bencana alam itu adalah sebuah ujian atau cobaan dari Tuhan kepada hambanya. Namun, mengaitkan ditersangkakan tokohnya jelas berlebihan. Begitu mulianya penceramah yang provokatif itu sehingga Tuhan turun tangan?.
Di media sosial kita menyaksikan status dan cuitan yang jauh dari rasa empati terhadap korban bencana. Mereka terus menyalahkan penanganan gempa yang terlambat, mobilisasi bantuan yang tidak disegerakan dan sebagainya. Bahkan, ada yang menjadikan bencana sebagai isu politik demi kepentingannya.
Mantan anggota DPD RI M Ihsan Loulembah yang lahir di Palu bercerita bahwa sejak masa kecil dia akrab dengan gempa. "Kami menyebutnya tanah goyang. Saking seringnya, setiap mendapatkan tanah bergoyang kami hanya menghentikan kegiatan sejenak lalu normal kembali," katanya di hari pertama gempa terjadi.
"Sesekali agak besar, seperti saat saya sekolah dasar tahun 70-an, membikin hampir terlontar dari tempat tidur. Saat itu, kalau tidak salah ingat, bertepatan akan dibangunkan Ayahanda untuk makan sahur bulan Ramadhan."
"Kami hanya tertegun sejenak lalu biasa lagi; makan sahur sekeluarga hidangan Ibunda dan jajaran tim dapurnya. Jarang kami sampai keluar rumah, sebagaimana ajaran umum jika terjadi gempa."
"Kali ini, "tanah goyang" itu benar-benar datang sebagai gempa bumi; jamak namanya disebut. Berskala 7,7 Richter, kemungkinan besar "pekerjaan" sesar Palukoro yang sering disebut para peneliti bumi itu; tak ada yang berani bertahan dalam rumah. Ini baru gempa!"
Ichan --demikian kami memanggil kawan sesama jurnalis ini-- kini sedang berjibaku dengan timnya di Palu. Ia mengerahkan tenaga dan pemikirannya untuk ikut meringankan beban korban yang jumlahnya terus bertambah.
Skala bencana Palu Sigi Donggala -- ini penyebutan yang diusulkan Ichan agar menggambarkan skala bencana sebenarnya-- begitu besar. Ada yang diterjang sunami. Ada yang tanah beserta isinya ambles ditelan bumi.
Upaya penyelamatan telah dilakukan. Tapi tidak gampang. Alat-alat berat terbatas di sana. Mobilisasi alat berat juga susah. Apalagi jika harus mendatangkan dari luar lokasi gempa.
Saya bisa membayangkan betapa menderitanya para korban bencana. Pesawat hercules sudah hilir mudik ke Palu. Itu pun tak bisa leluasa. Karena bandara Palu juga terbatas.
Saya membayangkan masih banyak korban yang belum ditemukan. Yang tersapu air bah sunami. Yang terkubur reruntuhan bangunan. Juga yang ikut ambles ditelan bumi.
Kalau tidak bisa ikut menyumbangkan tenaga ke sana, selayaknya kita membantu mereka dengan apa yang kita bisa. Seperti temen-temen REI yang hari kedua langsung mengirim 4 kontainer makanan dengan kapal Meratus yang digratiskan.
Kalau tidak bisa membantu tenaga maupun barang yang mereka butuhkan, setidaknya ikut membantu doa. Tidak perlu berceloteh yang tidak-tidak. Apalagi menuduh yang enggak-enngak.
Sisihkan sedikit empati kita. Biar tidak termasuk golongan MEE: Masyarakat Entek (habis) Empatinya. (Arif Afandi)