Gempa Harus Terjadi, Kita Perlu Antisipasi
Mengamati gempa bumi melanda beberapa titik di Indonesia yakni Lombok, Palu, dan Donggala. Masyarakat Tangguh Indonesia, bersama komunitas bencana alam dan komunitas lingkungan menggelar open talk seputar gempa, di gedung Teknik Geofisika ITS.
Kegiatan tersebut, dibuka dengan presentasi dari Dr.Ir Amien Widodo M.Si, seorang geolog dan dosen ITS. Dalam presentasinya ia memberi penjelasan seputar bencana alam, gempa khususnya. Ia mengungkapkan, bawasannya gempa sama halnya dengan oksigen.
Keberadaannya harus ada sebagai bagian dari keseimbangan bumi. Seperti bencana gempa bumi yang belakangan terjadi di Indonesia. Baginya, itu merupakan peristiwa yang memang harus terjadi.
"Gempa bumi itu memang sudah menjadi bagian dari siklus bumi. Kalau tidak di belahan satunya, gempa pasti akan terjadi di belahan yang lain. Namun selama ini yang terjadi, kita menganggapnya secara terbatas. Bahwa gempa itu takdir - dan berhenti di situ.
"Sehingga kita cenderung hanya berusaha mengatasi ketika gempa itu sudah terjadi dan menibulkan kekacauan dan korban meninggal. Tetapi upaya untuk mengantisipasi dampaknya? Minim sekali," tutur Amien membuka presentasinya.
"Bukan tidak mungkin di sini terjadi gempa. Pasalnya Surabaya pernah mengalami gempa, pada tahun 1867 silam. Gempa itu sampai membuat gereja merah yang ada di Morokrembangan sampai harus direnovasi total," cerita Amien.
Ia pun melakukan perbandingan. Pada 2007 lalu, gempa berkekuatan 6,9 SR di Jepang, menelan 1 korban meninggal dan korban luka-luka serta kerusakan rumah hanya beberapa. Sementara, gempa di Yogya berkekuatan 5,9 SR menyebabkan korban meninggal > 6000 orang, juga > 300 ribu mengalami luka-luka dan rumah rusak.
Amien pun membandingkan bencana tsunami Aceh pada 2004 lalu yang memakan 200.000 korban meninggal dunia. Di tahun 2011, Jepang juga mengalami tsunami dengan skala yang lebih besar, namun jumlah korban meninggalnya lebih kecil, yakni tidak lebih dari 20.000 jiwa.
"Pertanyaannya? Kok bisa Jepang skala bencananya besar, tapi korbanya lebih sedikit? Sebab, Jepang sudah melakukan banyak penelitian sebelum terjadi bencana. Sehingga dari penelitian itu, bisa dibuat berbagai alat untuk peringatan dini, peta resiko dan arah jalur evakuasi.
"Selain itu, rakyat Jepang diwajibkan untuk belajar mengenal, memahami, dan mengetahui tata cara menghadapi bencana sejak TK. Lah kita? Apakah mendapatkan pelajaran atau diwajibkan belajar soal itu? Saya rasa belum, bahkan mungkin tidak. Wong di ITS aja nggak ada kok," celetuk Amien.
Baginya, sudah saatnya masyarakat Indonesia menyadari, bahwa gempa adalah sesuatu yang tidak dapat diduga dan bisa menimpa siapa saja. Bencana alam memang terjadi atas kehendak Yang Maha Esa, namun manusia juga dapat berupaya untuk mengantisipasi dampaknya. Untuk itu, sedini mungkin, kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Pasalnya, gempa tidaklah membunuh.
Dampak dari adanya gempa itulah, yang biasanya menjadi pembunuh. Dampak domino, itulah yang perlu kita antisipasi sejak dini. Supaya saat terjadi gempa, tidak menyebabkan terlalu banyak korban meninggal dunia, pun luka-luka.
"Hari ini kita bertemu, tujuannya adalah supaya kita bisa sama-sama mencari jalan. Apa yang sekiranya bisa kita lakukan sekarang untuk menyiapkan diri kalau-kalau gempa terjadi di Surabaya? Jadi, kalau nanti di Surabaya ada gempa, kita tahu harus apa dan bagaimana, untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.
"Bukan tidak mungkin di sini terjadi gempa. Pasalnya Surabaya pernah mengalami gempa, pada tahun 1867 silam. Gempa itu sampai membuat gereja merah yang ada di Morokrembangan sampai harus direnovasi total," cerita Amien.
Adapun, dampak domino yang dimaksud adalah timbulnya masalah alam lainnya, sosial, lingkungan, dan kesehatan yang muncul karena adanya gempa. Seperti yang terjadi di Palu, gempa berentet pada bencana tsunami, likuifaksi, penyakit, krisis, dan penjarahan. (titis)