Gema Bung Karno di Jerman Barat
Oleh: M. Faishal Aminuddin
Di awal era perang dingin, Indonesia merupakan negara yang menempati posisi penting. Di tengah konfrontasi psikologis antara blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur dibawah kendali Uni Soviet, Indonesia memelopori berdirinya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 dan menginisiasi berdirinya Gerakan Non-Blok. Peran yang dimainkan oleh Bung Karno pada saat itu membuatnya dikenal sebagai pemimpin populis dari negara dunia ketiga yang mampu menjadi pioner bagi perjuangan anti-kolonialisme.
Negara-negara blok Barat menaruh perhatian besar kepada Indonesia yang bisa dimanfaatkan sebagai front terdepan membendung gerak laju komunisme di Asia Tenggara. Pun sebaliknya, blok Timur juga sangat aktif mendekati Indonesia dan memberikan berbagai bantuan persenjataan dalam rangka menjaga hubungan baik. Salah satu bagian dari negara-negara blok Barat itu adalah Republik Jerman Barat. Pasca Perang Dunia kedua, Jerman dipecah menjadi dua bagian, Republik Federasi Jerman atau Bundesrepublik Deutschland yang berada dibawah sekutu Amerika dan Republik Demokratik Jerman atau Deutsche Demokratische Republik (DDR) yang berada dibawah kontrol Uni Soviet.
Pada bulan Juni tahun 1956, Bung Karno diundang oleh Presiden Jerman Barat, Theodor Heuss untuk mengunjungi Berlin dan beberapa kota yang lain. Pada saat itu, Berlin terpecah menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur. Selain kunjungan kenegaraan, Bung Karno juga menerima penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa dari dua universitas di Jerman yakni Technische Universität Berlin dan Ruprecht Karls-Universität Heidelberg.
Sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya Indonesia Toward Democracy (2009) menulis sekilas mengenai impresi atas pidato Bung Karno di Universität Heidelberg. Mengawali pidatonya, Bung Karno mengutip referensi tentang keindahan daerah lembah sungai Rhein itu. Lalu menyatir sastrawan Jerman, Schiller dan Goethe sebagai orang-orang yang berjasa dalam memberi kontribusi bagi pemikiran beliau. Salah satu puisi dari Schiller yang dikutipnya adalah “Wir wollen Sein einig von Brudern”. Pada bagian selanjutnya, dia menyampaikan tentang gagasan anti-kolonialisme, kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Sambil diselingi dengan ilustrasi keindahan mutiara khatulistiwa ini. Dia juga menegaskan betapa bangsa-bangsa Eropa yang diawali oleh Portugis datang ke negeri rempah-rempah ini. Diikuti oleh bangsa lainnya yang mengkoloni dan mengeksploitasi negeri ini.
Perjalanan Bung Karno
Horst H. Goerken dalam bukunya Der Ruf des Geckos (2015) menyebutkan bahwa perjalanan Bung Karno ke Jerman mempunyai makna simbolik. Dia dikenal sebagai kampiun anti kolonialisme dan berkunjung ke Berlin sebagai front depan ketegangan blok timur dan barat. Pemisahan Berlin Timur dan Barat menunjukkan bahwa kebebasan barat tengah berada dibawah ancaman komunisme Soviet. Goerken menyebutkan bahwa Bung Karno dalam pidatonya mengingatkan sembari menyentuh perasaaan orang-orang Jerman bahwa tidak ada yang lebih kuat dari bangsa yang bersatu dan tak ada yang lebih lemah dari bangsa yang terpecah belah. “mungkin kamu juga wahai kawan Jermanku yang tengah mencari jalan, berjuang bagi persatuan nasional” demikian kata Bung Karno.
Sebagaimana tercatat, dalam tahun 1956, Bung Karno melawat ke Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa barat dibulan Mei –Juni. Sesudahnya, dia melakukan lawatan ke Yugoslavia, Cekoslovakia dan RRC. Sebenarnya, Soekarno tidak begitu tertarik dengan pencapaian kapitalisme oleh Amerika Serikat. Dia malah sering mencontohkan pembangunan model RRC yang dilakukan oleh Mao Zedong. Dalam membangun Indonesia, inspirasi tersebut tampak dalam penerapan beberapa sistem yang dianggap penting seperti konsep Demokrasi Terpimpin 1959 dimana presiden mempunyai otoritas tertinggi terhadap kebijakan domestik dan luar negeri.
Saya melihat bahwa apa yang Bung Karno serap dari kunjungannya ke berbagai negara tersebut sangat berpengaruh pada pidato yang dia sampaikan di Universitas Heidelberg. Di universitas tertua di Jerman yang berdiri sejak tahun 1386 ini, dia memberi judul pidatonya Die geistige Strömung in Asien als moralische Kraft in der Welt, atau Gerakan Spritual di Asia sebagai Kekuatan Moral Dunia. Dia ingin memberikan gambaran bahwa bangkitnya gerakan kemerdekaan dan anti kolonialisme di negara-negara Asia dan Afrika merupakan cita cita kemanusiaan. Saya mengutip salah satu paragraf pidatonya dari terjemahan Bahasa Indonesia tulisan Winoto Danoeasmoro, Bung Karno berbicara bahwa “kekuatan terbesar di dunia adalah gagasan. Filosofi kami terletak pada prinsip etika dan negara kami didirikan diatas landasan etika. Prinsip etis mendeterminasi seluruh kehidupan kami. Kekuatan gagasan adalah yang paling tinggi dari semua kekuatan dan semua bangsa mempunyai pengakuan terhadap hal ini dan mendirikan tatanan spiritual dan moral. Tetapi anda selalu menafikkan tatanan tersebut dan memberikan tempat yang berlebihan bagi hal-hal materialistik yang menghasilkan konflik antara prinsip dan prakteknya.
Gagasan tentang persatuan nasional dalam sebuah bangsa menjadi titik anjak yang sangat berguna untuk membangun kekuatan dan jatidiri bangsa. Realitas keanekaragaman masyarakat, budaya dan geografis merupakan potensi besar jika persatuan bisa diwujudkan. Gagasan tentang persatuan dan nasionalisme sebenarnya sudah tumbuh di Eropa dan menjadi ideologi perekat untuk menyokong eksistensi negara bangsa. Sebagaimana pemikiran Ernest Renan tentang nasionalisme dan filsuf Jerman Gottlieb Fichte tentang negara kolektif. Keyakinan Soekarno atas gagasan persatuan dan bagaimana persatuan tersebut bisa menemukan prakteknya dalam kehidupan bernegara, diulas lagi dalam pidato amanat proklamasi kemerdekaan bulan Agustus 1956 di Jakarta. Dia menegaskan “sebagai mana yang saya katakan di Universitas Heidelberg dua bulan yang lalu: sesuatu Negara, sesuatu bangsa, adalah satu organisme, dan sesuatu organisme tak dapat dibagi-bagi, tak dapat dicerai-pisahkan, zonder membahayakan keselamatannya organisme itu. Ia adalah satu tubuh-hidup, yang meskipun terdiri dari bermacam-macam jenis organ, toh seluruhnya merupakan satu kesatuan yang saling memerlukan, saling pengaruh-mempengaruhi dalam fungsi-fungsinya, saling mengaktivir, saling menghidupi”.
Perhatian Pers Jerman
Pidato Soekarno di Heidelberg diberitakan hampir semua media massa berpengaruh di Jerman Barat dan diulas panjang lebar. Diantaranya yakni koran Frankfurter Allgemeine Zeitung menuliskan berita dan ulasannya dalam edisi tanggal 18 Juni 1956. Media besar lainnya seperti Die Welt menulis reportase panjang yang terbit pada tanggal 19 Juni 1956 yang ditulis oleh G Wirsing yang bertajuk Im sonderzug das präsidenten Sukarno. Pidato politik Bung Karno saya lihat mempunyai tiga makna penting. Pertama, dia telah menunjukkan sebuah Negara baru yang bernama Republik Indonesia yang berdiri diatas landasan gagasan, spiritual dan filosofis dengan Pancasila sebagai falsafah dasar dan pandangan hidup bernegara. Negara ini mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau dalam bahasa Jerman berarti Verschieden, aber eins. Dia menunjukkan pada khalayak Jerman bahwa negeri yang indah dan kaya raya ini, masyarakatnya punya tekad untuk menghidupi persatuan nasionalnya.
Kedua, secara implisit, Bung Karno ingin menegaskan dukungannya bagi persatuan Jerman. Pilihan sajak dari Friedrich Schiller yang dia sampaikan berpesan tentang persaudaraan, persatuan, kecintaan pada tanah air dan persamaan ummat manusia di hadapan Tuhan, bukannya tanpa alasan. Berikut saya kutip syairnya lebih lengkap dari yang dikutip oleh Taufik Abdullah diatas: Wir wollen sein ein einig Volk von Brüdern, in keiner Not uns trennen und Gefahr. Wir wollen frei sein, wie die Väter waren. Eher den Tod, als in der Knechtschaft leben.–“kami ingin menjadi bangsa yang bersatu dimana marabahaya dan kegentingan tak bisa memisahkan kita. Kami ingin menjadi bebas sebagaimana bapak kami. Lebih baik mati daripada hidup dalam perbudakan”-. Dia mengingatkan betapa negara yang hidup dalam persatuan akan menjelma menjadi negara yang kuat.
Ketiga, menyampaikan pesan bahwa Indonesia yang menginisiasi KAA dan GNB, mempunyai daya tawar dalam politik internasional. Gerbong negara-negara Asia Afrika dan GNB ini sedang berproses untuk menunjukkan posisi politik dan pencarian sistem alternatif yang bersumber pada karakteristik dan kepentingan nasionalnya. Kerjasama internasional yang dilakukan didasarkan pada persamaan dan solidaritas dan bukan atas dasar okupasi dan eksploitasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Warner G. Krug dari koran Die Zeit edisi 21 Juni 1956 yang bertajuk “Bung Karno in Bonn”, “Präsident Sukarno....Auch daran, daß Indonesien eines der reichsten und entwicklungsfähigsten Länder ist, und sein Staatspräsident, der „Bung Karno“, nach Nehru wohl die bedeutendste Figur im west-östlichen Kräftespiel in Asien”-Presiden Sukarno.....juga fakta yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara kaya raya dan ulet, dan presidennya, sebagaimana Nehru, mungkin adalah sosok terpenting yang memainkan peranan dalam hubungan Timur-Barat di Asia-.
Saya melihat, Bung Karno sudah membangun visi untuk memberikan kontribusi bagi persatuan Jerman. Kelak, 34 tahun kemudian dari pidato politik didepan khalayak intelektual dan elit politik di Universitas Heidelberg. Disebarluaskan oleh reportase media massa berpengaruh di Jerman Barat. Setelah Uni Soviet tumbang, tembok Berlin dirobohkan, Jerman Barat-Timur melakukan reunifikasi pada 3 Oktober 1990 dan berdirilah Republik Federasi Jerman sampai hari ini.
*) Penulis adalah Dosen Ilmu Politik di Universitas Brawijaya. Doktor Ilmu Politik dari Ruprecht Karls Universität Heidelberg, Jerman.
Advertisement