Gelisah Sipil? Perbincangan Akbar Faisal, Andi Wijayanto dan Salamat Ginting
Tiba-tiba saja, berseliweran di media sosial saya cuplikan perbincangan Akbar Faisal Uncensored (AFU). Kebetulan sedang membahas isu yang sedang hangat tentang TNI. Terkait penempatan salah satu prajuritnya di posisi politik yang strategis dan Rancangan Undang-Undang TNI.
Kebetulan lagi, ia menampilkan dua narasumber yang sangat istimewa. Satu saya kenal dan satunya tidak. Tapi keduanya dikenal banyak orang sebagai sosok yang sangat paham tentang jerohan TNI. Kebetulan juga keduanya adalah anak kolong, sebutan untuk anak keluarga TNI.
Yang saya kenal adalah Andi Wijayanto. Seorang mantan dosen UI yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Beberapa kali saya berkesempatan untuk ngobrol khusus dengannya. Bahkan ia sempat berkunjung ke kantor saya di Surabaya.
Satunya pengamat yang saya tidak kenal. Salamat Ginting, namanya. Ia mantan wartawan yang studinya di S1 sampai S3 tentang militer. Kini ia menjadi pengajar di Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Sayang saya tidak mengenalnya meski kata Akbar Faisal yang bersangkutan pernah berprofesi wartawan.
Lalu siapa Akbar Faisal? Dia juga pernah menjadi wartawan. Juga pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Hanura. Beberapa kali pernah menjadi aktifis partai. Mulai dari Partai Demokrat sampai dengan Partai Nasdem. Setelah tak menjadi anggota DPR, kini populer lewat podcast politiknya.
‘’Kami bertiga anak kolong. Namun, saya anak kolong dari TNI yang berpangkat rendah,’’ katanya di awal perbincangan. Rupanya ia ingin menunjukkan perbedaan antara ketiganya meskipun sama-sama anak kolong. Andi adalah putra Mayjen Pur. Theo Syafei, seorang perwira yang aktif di PDI Perjuangan setelah pensiun.
Perbincangan itu menjadi perhatian publik. Hanya dalam sehari, podcast AFU tentang TNI ini sudah ditonton hampir 300 ribu orang. Dilike hampir dua ribu orang, dan dikomentari dalam jumlah yang hampir sama. Ini perbincangan serius yang mendapat perhatian publik besar.
Saya pun banyak mendapat pencerahan baru. Dari perbincangan tersebut. Akbar Faisal lebih suka menyebut forumnya bukan sebagai ajang talkshow. Tapi lebih sebagai ajang diskusi. Karena itu, ia memperlakukan narasumber sebagai mitra diskusi untuk objek yang diwawancarai.
Barangkali karena Akbar Faisal seorang politisi berlatar belakang wartawan, ia tampak sekali berusaha seobjektif mungkin. Baik dalam mengajukan pertanyaan maupun saat mengomentari pernyataan narasumbernya. Juga selalu berusaha melihat persoalan banyak hal dari dua sisi.
Ia tunjukkan sikapnya. Ingin TNI tetap dalam koridor reformasi. Tak terlalu masuk dalam ranah sipil. Apalagi politik. Tetap profesional. Tapi dia tak menutup masuknya militer aktif sesuai dengan kebutuhan. Tapi bukan kebutuhan pragmatis. Kebutuhan karena perkembangan teknologi maupun jenis ancaman negara.
Ia mengiyakan Andi Wijayanto yang berpendapat demikian. Bagi mantan Gubernur Lemhanas itu, bisa saja presiden, kementerian atau lembaga membutuhkan tentara aktif. Tapi semuanya harus melalui proses yang benar. Tidak melanggar aturan. Apalagi undang-undang.
Soal penempatan tentara aktif di ranah sipil ini memang sedang ramai diperbincangkan. Pertama dipicu pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Terus diukuti kenaikan pangkat yang melompat menjadi Letnan Kolonel. Kedua, terkait UU TNI yang antara lain menambah 5 kementerian dan lembaga lagi yang bisa diduduki tentara aktif.
Yang menarik, ada data diungkap Salamat Ginting. Selama ini; ternyata sudah ada ratusan tentara aktif yang dipekerjakan di berbagai ranah sipil. Termasuk di BUMN. Ia memang penganut mazhab tentara harus profesional. Tetap di barak. Jangan digiring ke dwifungsi seperti dulu lagi.
Bagi mereka berdua, tidak boleh ada masalah dalam organisasi TNI diselesaikan oleh kementerian atau lembaga lain. Demikian juga sebaliknya. Jika ada masalah di lembaga dan kementerian, lantas diselesaikan dengan menempatkan para jenderal di lembaganya. Apalagi dengan harus menerabas UU TNI.
Banyak yang sepakat bahwa TNI bukan tidak boleh berpolitik. Tapi politik TNI adalah politik negara sesuai dengan Sapta Marga. Bukan politik praktis. Apalagi politik pragmatis. Hal ini sangat penting untuk menjaga kelangsungan bernegara kita. Negara yang telah bersepakat untuk mengedepankan supremasi sipil dalam.berdemokrasi.
Ada satu hal yang baru dalam pandangan para narasumber itu. Jika sekarang kalangan sipil gelisah dengan apa yang terjadi di TNI karena ada beberapa langkah yang terkesan mengacak-acak organisasi TNI. Organisasi yang selama ini diakuinya paling rapi.
Bagi Andi maupun Ginting, kerapian organisasi TNI ini yang membuat setiap orang memiliki jalur karir yang jelas. Setelah mereka melalui berbagai jenjang pendidikan kepangkatan yang telah teratur rapi. Namun, kalau ada anomali seperti sekarang, hal itu akan membangun kabut dalam tubuh TNI.
Saya menjadi teringat peristiwa 1998. Krisis politik masa itu terjadi karena ada perpecahan elit di TNI. Selain itu, tentu saja dipicu krisis ekonomi yang melanda kita. Peristiwa yang tentu saja tidak diinginkan semua anak bangsa sekarang.
Sungguh, yang tadinya potongan Podcast politik ini hanya berseliweran di medsos, pada akhirnya membuat pencerahan untuk semua. Bukan hanya bagi warga sipil yang peduli dengan masa depan bangsa. Tapi juga para pemimpin politik yang sekarang mendapat amanah memimpin bangsa.
Rasanya, podcast AFU ini menjadi forum diskusi yang paling menarik sekarag. Sampai saat ini, rasanya ia adalah host podcast politik terbaik. Karena itu, banyak tokoh berkelas senang diundang dalam perbincangan podcastnya. Misalnya salah satu bos Danantara Pandu Sjahrir, Connie Bakrie, bahkan Hasto Kristiyanto sebelum Sekjen PDI Perjuangan itu berurusan dengan KPK.
Akal sehat pasti selalu muncul kapan saja.
Advertisement