Gelar Tumpengan Sebelum Pemotongan Kapal
Bisnis pemotongan kapal di Desa Tanjung Jati, Kamal, Bangkalan, Madura, tak pernah mengenal krisis. Banyak cerita menarik tentang bisnis langka ini. Berikut tulisan ketiga atau terakhir wartawan ngopibareng.id, Bahari.
KM EMIER berbobot mati 3000 ton sudah beberapa minggu dimutilasi 18 tukang las, 8 kenek, atau pembantu tukang las dan10 tukang panggul. Hasilnya, baru 500 ton besi baja yang bisa dipreteli selanjutnya dikirim ke pabrik.
Sekilas kapal tampak masih utuh hanya bagian depan terlihat berlubang karena besi bajanya sudah dipotong-potong. ‘’Perkiraan kami mungkin tiga bulan baru kelar,’’ kata Hari Indra , 41, mandor yang memimpin pemotongan kapal bekas milik perusahaan perkapalan keluarga Yusuf Kalla.
Sebenarnya dari bodi kapal kargo khusus mengangkut mobil dari Jakarta ke Makassar itu masih bagus meski usianya lebih 25 tahun. Tapi, mesinnya sudah rusak. Hingga pemilik terakhir memutuskan menjual kapal. Sebab kalau diperbaiki butuh biaya sangat besar. Akhirnya, pemilik kapal memutuskan melego.
Berapa harga kapal? Hari hanya mendengar selentingan kalau harga kapal dengan bobot mati 3000 ton dari Makasar itu seharga Rp 7 sampai Rp 8 miliar. Setelah harga deal, kapal ditarik tug boat ke Tanjung Jati. Untuk bisa sandar harus menunggu air pasang. Kalau tidak sulit kapal bisa bersandar pas di tepian laut. Setelah itu ditarik pakai derek agar lebih dekat ke darat guna memudahkan pemotongan kapal.
Kapal dibeli sebuah perusahaan atau pabrik besi beton naser di kawasan Margo Mulyo, Tandes. Untuk memotong kapal, perusahaan pembeli kapal tadi menggunakan jasa perusahahan pemotongan kapal di Tanjung Jati.
‘’Besi-besi kapal nanti dikirim ke pabrik untuk dicor ulang menjadi beton neser. Kualitas besi baja bekas kapal sangat bagus,’’ kata Yanto, orang pabrik pembeli kapal yang ditugaskan mengawasi pemotongan kapal.
Yanto dan temanya ditugaskan mengawasi pemotongan kapal secara bergantian. Pagi itu, Yanto memilih duduk semacam gubug yang teduh tak jauh dari pemotongan kapal. Pengawasan termasuk pengiriman besi yang baru dipotong ke pabrik.
Ditambahkan Hari, tidak hanya lembaran besi baja atau scraf saja yang laku dijual. Hampir semua isi kapal laku dijual. Baling baling, mesin, kuningan, kabel tembaga. Semua bisa dijual bahkan tembaga dan kuningan banyak diburu orang.
Usaha pemotongan kapal di Desa Tanjung Jati, Kamal, Bangkalan, dimiliki 13 bos atau juragan besi tua. Mereka menempati lahan atau dermaga yang sudah ditentukan oleh pihak desa yang mengelola loaksi pemotongan kapal. ‘’Semua pekerja orang Tanjung Jati. Hanya satu dua pekerja dari luar,’’ ujar Hari Paar pengusaha pemotongan kapal tadi umumnya membeli kapal sendiri lewat jaringan yang dibangun atau mengirim utusan atau orang ke daerah yang jadi pangkalan kapal.
Setelah dapat kapal, kalau mesinnya mati ditarik tug boat. Sesampainya di Tanjung Jati kapal dipotong sendiri lalu besinya dijual ke pabrik. Hanya satu dua yang menerima jasa pemotongan kapal milik pabrik atau pengusaha lain. Ya, seperti perusahaan yang menaungi Hari Indra dkk tadi.
Jasa pemotongan kapal dilakukan secara borongan. Setiap kilogram besi kapal dihargai Rp 550. Kalau bobotnya kapal 3000 ton tinggal mengalikan saja besarnya harga yang harus dibayar pemilik kapal ke pemborong jasa pemotongan kapal. Yakni, 3.000. 000 kg x Rp 550= Rp 1.650.000.000.
Dengan keuntungan begitu mengiurkan, berarti para pekerja banyak yang kaya? Hari tertawa. Ha ha ha. ‘’Yang kaya ya bos bosnya. Kalau kita.. kita ini ya biasa. Disyukuri saja,’’ akunya..
Selama proses kerja, semua biaya untuk tenaga kerja dan peralatan pendukung ditanggung perusahaan jasa pemotongan kapal. Kecuali pengangkutan ke pabrik dibebankan ke pemilik kapal. Tapi, semua tergantung bagaimana perjanjian kerjanya.
Hari Indra menambahkan, karena kerja borongan para tukang las, kenek dan kuli angkut digaji lebih besar. Yakni, tulang las antara Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu. Sedangkan kenek Rp 100 ribu. Sedangkan kuli panggul digaji sesuai dengan berapa banyak besi yang diangkat. Makin besar jumlah yang berhasil dipreteli dari kapal, makin besar upah yang mereka terima.
Setiap minggu para pekerja mengambil gajian. Tapi, tidak diambil semuanya, hanya sebagaian. Karena sisanya untuk ditabung. Begitu pemotongan kapal tuntas pekerja menerima penuh haknya.’’Kalau kerja borongan semakin cepat selesai makin bagus ha..ha.’’ ujar Hari.
Menurut Hari selain kecepatan dan keahlian tukang las yang didukung para pekerja lain dalam memotong kapal. Faktor penting lainnya yang ikut menentukan cepat tidaknya pemotongan kapal adalah cuaca. Kalau cuaca panas para pekerja sering istirahat mencari air untuk mendinginkan wajah dan tubuh. Selain terik mentari tukang las harus berhadapan panasnya api pengelasan. ‘’Jadi, panasnya dobel,’’ ujarnya.
Sebaliknya kalau cuaca hujan apalagi rintik rintik pengelasan makin cepat. Tukang las kian semangat karena tidak terasa panas. Apalagi, ada semilir angin pantai.
Ditambahkan Hari, bagian pemotongan kapal paling sulit dan berbahaya adalah mesin. Mengapa? Karena di dalam mesin biasanya masih ada sisa bahan bakar meski sudah dikuras. ‘’Kalau ngelasnya tidak hati hati bisa terbakar bahkan meledak.’’
Kerja pemotongan kapal tergolong berbahaya. Selain berhadapan dengan api las yang mudah terbakar karena masih ada sisa bahan bakar di kapal. Barang yang dihadapi pekerja super berat. Bisa puluhan ton. Salah sedikit saja fatal akibatnya.
Karena itu untuk keselamatan para pekerja, sebelum memulai pemotongan kapal didahului bancaan, atau selamatan. Intinya, minta kepada Allah SWT agar selama proses pemotongan berjalan lancar dan aman. ‘’Intinya minta keselamatan bekerja pada Allah SWT,’’ aku Hari.
Hari sendiri warga asli Tanjung Jati, Sejak, kecil Hari melihat sudah ada aktivitas pemotongan kapal. Soal siapa pelopornya Hari tidak tahu karena masih terlalukecil. Hampir semua keluarga besar Hari juga bekerja sebagai pemotong kapal.
‘’Sejak paman paman saya dulu sudah bekerja di sini (Tanjung Jati). Saya sendiri mulai menekuni pemotongan kapal setelah lulus SMA,’’ aku Hari.
Beberapa tahun lalu usaha pemotongan kapal sempat lesu. Itu karena harga besi dari pabrik anjlok. Hingga para pengusaha besi tua tidak berani membeli kapal takut rugi. Setelah harga besi naik lagi, aktivitas pemotongan kapal kembali marak. (bahari/habis)