Gedung Baru Hasil Totalitas Dokter Deutman
Cita-cita membangun rumah sakit mata untuk orang pribumi miskin tak pernah padam. Meski klinik di rumah sewaan telah nyaman dan terus berkembang, rencana itu terus diupayakan.
Namun tak gampang mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Apalagi masih dalam kondisi perang dunia I yang memicu krisis ekonomi dunia, terutama di Eropa. Akibatnya semua barang mahal, termasuk alat-alat kesehatan.
A Deutman yang terus memelihara asa agar perkumpulan bisa membangun gedung rumah sakit tak pernah padam. Sambil terus membesarkan pelayanan klinik yang menempati rumah yang kini menjadi Panti Wreda di Jalan Undaan.
Ada dua beban yang ada dalam pundak Deutman saat itu. Pertama, bagaimana memenuhi pembiayaan operasional klinik sehari-hari. Kedua bagaimana mengembangkan klinik ini menjadi rumah sakit dengan memiliki gedung sendiri.
Dalam hal operasional sehari-hari, mereka hanya bergantung kepada iuran anggota perkumpulan dan donatur. Dalam laporan keuangan klinik 1918 tampak beratnya menanggung pembiayaan.
Dalam tahun tersebut, perkumpulan berhasil mengumpulkan dana f 19.370 (gulden). Namun, ternyata pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan menghabiskan dana f 24.990 (gulden). Jadi devisit sebesar f 5.620 (gulden).
Meski demikian, tak menyurutkan semangat Deutman untuk memberikan pelayanan kesehatan mata bagi orang miskin. Bahkan, tidak jarang ia mengeluarkan sendiri uang pribadi untuk perkumpulan klinik mata Surabaya.
Dari sini bisa dilihat peran besar Deutman dalam sejarah panjang keberadaan klinik mata yang kini menjadi RSMU. Ia tidak hanya penggagas dan pemrakarsa, tapi juga menyumbangkan tenaga dan dana untuk pembangunan rumah sakit ini.
Demikian juga untuk pembangunan gedung RS. Meski tak berlebihan uang, ia tetap bertekad mewujudkan. Karena itu, Deutman dan kawan-kawannya terus mencari lahan yang bisa didirikan untuk klinik mata milik perkumpulan.
Ketemulah lahan di sebelah rumah yang di sewa. Tetap di jalan Undaan. Disamping Embong Purnomo (sekarang Jalan Soenaryo P. Gondokusumo). Masih di tengah kota. Tak jauh dari pusat keramaian dan pusat pemerintahan.
Tanah seluas 7 ribu meter persegi lebih sedikit itu bisa dibeli tahun 1932. Tidak ada catatan sumber dana pembelian tanah. Yang pasti, tanah berstatus Egendom Verponding itu jelas kepemilikannya dan sesuai dengan kebutuhan penbangunan RS yang dicita-citakan.
Begitu mendapat lahan, perencanaan pembangunan RS diserahkan kepada Biro Pembangunan AIA. Ini biro kumpulan para arsitek Belanda. Tentu setelah keluar ijin dari Gemeente di Bulan Nopember 1932. Sedangkan pelaksanaan dan pengawasanya diserahkan ke NEEDAM, perusahaan kontraktor bangunan.
Proses pembangunannya pun berlangsung cepat. Hanya butuh waktu 8 bulan. Dalam waktu kurang dari setahun sudah berdiri tegak bangunan megah dan kokoh seluas 2.406 meter persegi. Sisanya dibikin taman hijau yang luas dan rindang. Bangunan dibuat dengan mengadopsi arsitektur yang sesuai dengan daerah tropis.
Ruangannya besar-besar dan tinggi. Bahan bangunanya terbuat dari bahan baku pilihan. Gabungan bangunan tinggi dan taman dengan tanaman yang rindang membuat hawanya tetap sejuk di dalamnya. Gedung baru yang menyenangkan.
Dalam buku 50 Tahun RS Mata Undaan yang ditulis dr Mohamad Basuki digambarkan, di tengah komplek klinik itu terdapat tanah lapang yang ditumbuhi rumput. Dalam perkembangannya, sejumlah pohon besar yang rimbun ikut menyejukan suasana.
Bangunan RS yang berdiri atas dedikasi Deutman ini masih dilestarikan sampai sekarang. Tak ada perubahan sedikit pun kecuali perbaikan cat yang melapisinya. Apalagi bangunan itu sudah menjadi salah satu cagar budaya Surabaya. (Arif Afandi/bersambung)