Gaya Hidup Profesional Muda Jakarta, Kerja Kantoran Makan di Kaki Lima
Ada yang bilang, makan paling nikmat itu di saat perut sedang lapar. Lauk dan tempat makan tidak selamanya menjadi ukuran. Ibaratnya kalau sedang lapar, makan hanya dengan sambal kecap dan tempe goreng, nikmatnya melebihi masakan China.
Fakta Ini menjadi rujukan profesional muda yang bekerja di perkantoran mentereng kawasan Sudirman dan Thamrin Jakarta. Tidak malu-malu makan siang mlipir di warung kaki lima. Dasi dibiarkan menggantung di lehernya, membaur dengan karyawan yang lain. "Dia itu asisten managerku, tapi makannya tetap di kaki lima, nggak sok gengsi," bisik seorang temannya yang makan dengan menu sayur asem dan bakwan jagung, lengkap dengan sambal terasi. "Makan itu urusan perut tidak ada urusannya dengan gengsi," jawab seorang karyawati bank swasta yang makan semeja dengannya.
Ia sedang makan siang bersama teman sekantor di Warung Nasi Bu Sri, Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Meski mau membaur dan makan ramai-ramai di warung kaki lima, penampilan sang asisten manajer sebuah bank nasional itu tetap menunjukkan jika ia punya jabatan di kantornya. Tutur bahasanya lembut, duduknya rapi, tidak grusah-grusuh.
Manajer bank bernama Ridho ini merupakan salah satu profesional muda yang lebih mengutamakan kebutuhan pada waktu makan siang. Seorang asisten manajer penghasilannya boleh dibilang cukup lumayan, tapi mengapa tidak makan di restoran atau rumah makan yang berkelas, bukan di warung ecek ecek.
"Bagi saya biasa saja, tidak perlu gengsi, makan saja kok gengsi-gengsian, yang penting tempatnya bersih, halal dan enak," ujar Ridho kepada ngopibareng, saat makan siang, Kamis 17 Mei 2024.
Setiap jam makan siang, karyawan kantoran di Sudirman dan Jalan Thamrin pada keluar antre makan siang di warung di sekitar kantornya. Biasanya mereka sudah mempunyai langganan di beberapa warung yang menyediakan beraneka macam menu rumahan, tinggal memilih yang disukai. Ada penyet tempe, pecel lele/nila, ayam geprek, soto ayam lamongan, sayur asem, telur dadar serta bakwan.
Satu porsinya dibanderol Rp10.000 sampai Rp15.000 tidak lebih dari itu. Tetapi ada beberapa rumah makan di Jalan Setia Budi Jakarta Selatan ini yang menyediakan menu spesial, seperti Rawon Suroboyo, Sop buntut, sop iga dan bebek goreng yang harganya tentu lebih tinggi.
"Kalau makan di sini per porsi antara Rp 25.000 sampai Rp 50.00," ujar seorang karyawan bernama Hendra.
"Kalau dipresentasikan jumlahnya lebih banyak yang makan di warung ecek-ecek ini daripada yang berkelas", ujar karyawan yang lain.
Alasan mereka sederhana, menyesuaikan isi dompet.
Selain di Jalan Setia Budi, sebuah lorong di Jalan H Agus Salim Sabang Jakarta Pusat juga terdapat puluhan warung makan yang dikelola oleh sebuah paguyuban pedagang kaki lima. Lokasi ini juga menjadi ampiran karyawnan perkantoran Jalan Thamrin. Menunya pun tidak jauh berbeda, ada nasi padang, nasi goreng, ayam penyet, ikan bakar, ketoprak dan masakan sunda lengkap dengan lalapan.
Untuk minuman tersedia jus, cendol, teh solo yang lagi ngetren, kopi panas serta air mineral. Pada jam makan siang di dua lokasi ini ramai dengan karyawan yang makan pun sekadar ngopi menghabiskan jam istirahat.
Penuturan beberapa pemilik warung, omsetnya waktu jam makan siang cukup lumayan bisa untuk biaya sekolah anak-anak. Ia selalu bermurah hati pada pelanggannya supaya tidak pindah ke warung lain.
"Pelanggan yang sudah kenal lama, saya beri kelonggaran kalau kebetulan tidak membawa uang, bayar belakangan saja. Tapi semuanya tunai, habis makan langsung bayar tidak ada yang bon," ujar Bu Ati, salah seorang pemilik warung di Jalan Agus Salim, Sabang, Jakarta Pusat, langganan beberapa profesional muda makan siang.