Gaya Hidup Pancasila
Bisakah Pancasila menjadi gaya hidup? Seharusnya demikian. Ia tidak hanya menjadi ideologi negara. Juga sekadar nilai-nilai dasar berbangsa.
Harus kita akui, Pancasila masih lebih banyak menjadi bahan wacana. Belum menjadi bagian dari kehidupan yang mewarnai setiap langkah dan kehidupan warga negara Indonesia.
Dasar hidup lebih merujuk pada nilai-nilai yang menjadi landasan bersikap dan berperilaku. Sedangkan gaya hidup lebih bermakna sebagai realitas sosial yang tercermin dari nilai kehidupan.
Gaya hidup sebenarnya bukan hanya terkait dengan perilaku kekinian. Ia tidak bisa hanya dibedakan antara gaya hidup tradisional maupun modern.
Setiap perilaku yang menjadi ciri khas dari sebuah komunitas itulah gaya hidup. Ekspresi dari pandangan individu maupun komunitas dalam kehidupan sehari-hari.
Segala langkah yang terjadi sejak Pancasila dirumuskan para pendiri bangsa baru sekadar menjadikan sebagai dasar hidup. Bahkan pasang surut untuk langkah itu pun berjalan hingga kini.
Saat bangsa ini berusia 75 tahun, masih saja ada yang mempersoalkan. Mulai dari ide mengganti dengan nilai-nilai khilafah sampai dengan merames Pancasila menjadi Trisila.
Saya pernah merasakan pemerintahan sebelum reformasi politik dalam memperlakukan Pancasila. Ketika dasar negara itu berusaha diindoktrinasikan kepada semua warga bangsa.
Melalui apa? Lewat penataran P4 alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Sebuah pemaknaan Pancasila yang dirumuskan pemerintahan saat itu.
Penataran P4 dilakukan secara masif untuk berbagai lapisan masyarakat. Mulai anak sekolah sampai dengan para profesional. Bahkan juga para tokoh agama. Apalagi para pegawai negeri yang kini disebut Aparat Sipil Negara (ASN).
Saya harus mengikuti penataran itu sejak masuk perguruan tinggi. Ketika sudah menjadi profesional pun masih diwajibkan untuk ikut penataran.
Penataran P4 terakhir saya ikuti jelang reformasi politik. Saat menjadi salah satu pimpinan media massa. Bersama para pimpinan media lain di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Kalau nggak ikut penataran apa resikonya? Akan dianggap tidak taat pemerintah. Dianggap melakukan perlawanan dan bisa berdampak buruk bagi karir dan institusinya.
Menurut saya, program penataran P4 itu bagus sebagai instrumen menjadikan nilai-nilai dalam Pancasila dihayati seluruh elemen warga. Menjadi tidak baik karena ada kesan pemaksaan.
Juga menjadi tidak efektif antara nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam penataran dengan realitas politik saat itu. Pancasila mengedepankan nilai musyawarah, pemerintahan dijalankan dengan otoritarianisme.
Dalam pemerintahan saat itu, nilai baru menjadi sesuatu yang formalistik. Yang prosedural. Bukan menjadi nilai yang menyatu dalam tata kelola pemerintahan. Banyak diomongkan tapi tidak dijalankan.
Apakah paska reformasi politik, Pancasila sudah diaplikasikan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa? Rasanya masih harus terus diperjuangkan.
Euforia kebebasan paska reformasi politik, menjadikan para aktor lupa mengenai perlunya internalisasi nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tetap masih ada kesenjangan antara nilai yang diidamkan dengan yang terlihat di depan mata.
Diperlukan model kerajinan politik (political crafting) untuk mewariskan nilai-nilai Pancasila bagi generasi baru. Dua dekade paska reformasi politik kita kurang memikirkan masalah ini.
Kecuali membentuk kelembagaan yang (mestinya) diisi tokoh lintas generasi. Sehingga bisa menyelami cara anak-anak sekarang dalam menyerap nilai-nilai yang akan menjadi pegangan hidupnya.
Saatnya Pancasila tak hanya menjadi susunan kata yang harus dihapalkan. Tapi menjadi sebuah nilai yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Cara pandang melihat Pancasila juga perlu diupdate. Tidak hanya menjadi way of life, pandangan hidup. Tapi juga gaya hidup. Sebuah nilai yang ngehits yang siapa pun melaksanakan merasa keren.
Keren melihat orang yang menjalankan agamanya dengan baik, merasa keren saat punya empati yang tinggi kepada sesama manusia, keren jika menjadi warga bangsa yang mengedepankan persatuan.
Juga merasa keren jika berperilaku tidak memaksakan kehendak. Melainkan lebih mengedepankan musyawarah dan berpolitik dengan santun. Juga keren jika semua institusi pemerintah bersikap adil kepada siapa saja.
Lantas bagaimana menjadikan semua elemen bangsa merasa keren dengan itu semua? Ini yang perlu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Buka hanya pekerjaan pemerintah. Juga bukan hanya kerja BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Mungkin ceremoni tahunan setiap 1 Oktober masih perlu. Tapi rasanya perlu berubah format. Menjadi ceremon yang bisa diikuti berbagai lapisan masyarakat dengan senang hati.
Ibaratnya sekarang kita sedang mengajarkan cara bersepeda kepada anak kita tanpa ada sepedanya. Mana mungkin anak kita bisa bersepeda.
Mewariskan nilai Pancasila dengan menjadikan ia sebagai gaya hidup lebih memudahkan mereka memraktikkan. Ia akan inline antara yang diidamkan dengan kenyataan.
Nah siapa yang akan memulainya?