Gaya Dakwah Walisongo Sentuh Hati Umat, Kenapa Kini Beda?
Juru dakwah yang berkembang saat ini, tidak memahami kultur yang tertanam di bumi Nusantara. Mereka lebih mengedepankan provokasi dan kurang menghargaan perbedaan pendapat.
Karena itu, pemahaman terhadap khazanah dakwah Walisongo sebagai pioner dai yang mengenalkan Islam di Nusantara terus dilakukan. Gaya dakwah Walisongo yang lunak semakin relevan di tengah dakwah Islam kekinian yang cenderung berisi provokasi. Gaya dakwah Walisongo sangat menyentuh hati umat sehingga berempat pada Islam yang ramah dan damai.
"Sekarang ini banyak dakwah atas nama Islam, tapi justru membuat masalah dan perpecahan di tengah umat. Mudah menyesatkan berbagai amaliah yang telah membudaya dan mengafirkan para pelakunya," kata Mujab Masyhudi,Tim Ahli LBM NU Jawa Timur, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Sabtu 12 Januari 2018.
Ia mengungkapkan hal itu, saat bedah Buku Islam Nusantara karya LBM NU Jatim yang diselenggarakan dalam rangkaian Harlah Ke-39 MA Manbail Futuh di MA Manbail Futuh, Beji, Jenu, Tuban 10 Januari 2019.
"Islam Nusantara yang digagas oleh NU merupakan bagian dari upaya untuk menggali khazanah dakwah para wali itu," kata Mujab Masyhudi.
Mujab Masyhudi mengingatkan, Islam Nusantara yang digagas oleh NU merupakan bagian dari upaya untuk menggali khazanah dakwah para wali itu.
Sementara Ahmad Muntaha AM menyatakan, memang terjadi perbedaan secara diametral dakwah gaya baru yang sering mudah menyesatkan dan mengafirkan dengan dakwah Walisongo yang akomodatif terhadap budaya.
"Karena prinsip utamanya adalah setiap bidah adalah sesat, maka produk dakwahnya sangat provokatif. Lain halnya dengan dakwah Walisongo yang diwarisi Kiai-kiai kita, prinsip utamanya adalah akhlakul karimah maka produknya sangat akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal yang ada, selama tidak bertentangan dengan agama," kata Sekretaris LBM NU Jawa Timur.
Ustadz Najib Bukhari sebagai pembanding memberikan catatan, dakwah Walisongo dan bahkan generasi selanjutnya dilakukan secara bertahap dan tidak terlalu kaku.
"Contohnya di pesantren diajarkan fiqih siyasah, imamah, khilafah dan semisalnya. Namun selepas dari pesantren, para santri tidak gagap teriak-teriak khilafah, seperti para aktivis Hizbut Tahrir umpamanya. Kenapa? Karena para kiai tidak hanya mengajarkan teori namun juga mengajarkan dakwah secara kontekstual sesuai situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi," kata Najib yang juga pengurus LBM PBNU.
Tampak hadir dalam acara Bupati Tuban H Fathul Huda, Wakil Rais Syuriyah PCNU Tuban KH Syariful Wafa, Kepala MA Manbail Futuh Kiai Arifuddin, dan 400-an peserta. (adi)