Gawat, Unicef: Difteri di Indonesia Tembus 954 Kasus
Indonesia sempat dicengkeram serangan difteri pada 2017 lalu dengan jumlah 954 kasus. Dari jumlah kasus sebesar itu, United Nations Children’s Fund (Unicef) mencatat, 4,6% dari penderita dilaporkan meninggal dunia.
Hal itu diungkapkan Arie Rukmantara, Perwakilan Unicef untuk Wilayah Pulau Jawa dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan wartawan se-Tapal Kuda di Hotel Aston, Jember, Selasa, 25 September 2018.
“Pada 2017, difteri menyebar di 170 kabupaten/kota di 30 provinsi di Indonesia. Dari jumlah kasus itu, sebanyak 44 orang di antaranya meninggal dunia,” ujar Arie.
Dikatakan angka kematian(Case Fatality Rate/CFR) mencapai 4,6%, yang berarti dari 100 orang yang menderita penyakit difteri, terdapat 4-5 penderita yang meninggal. Angka CFR nasional ini sedikit lebih rendah dari data angka CFR global yang dirilis WHO yakni, di kisaran 5-10%.
Mantan jurnalis The Jakarta Post itu menambahkan, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui, bahayanya difteri. Akibatnya, ada sebagian warga yang enggan melakukan imunisasi untuk mencegah difteri. Tidak hanya terhadap difteri, imunisasi terbukti ampuh dalam penanggulangan sejumlah penyakit seperti, polio, hingga campak dan rubela.
“Pada 2017, terjadi KLB (kejadian luar biasa) difteri di Jawa Timur, kasusnya merata terutama di kawasan Tapal Kuda,” ujar Arie.
Seperti diketahui, pada 2017 terdapat 13 kasus difteri dengan 3 penderita di antaranya meninggal dunia.
Sementara itu Dr dr Atoillah Isfandiari Mkes, dosen epidemiologi dari Universitas Airlangga, Surabaya menambahkan, pada 2017, 66% kasus difteri yang ada karena tidak adanya imunisasi sama sekali. Sedangkan 31% dipicu kurang lengkapnya imunisasi, dan 3% sisanya sudah imuninasi lengkap.
“Kami menyayangkan masih ada sebagian warga yang anti imunisasi dengan menuding, imunisasi merupakan konspirasi Yahudi dengan Amerika,” ujarnya. Bahkan, di Afghanistan pernah terjadi, pihak Taliban sampai menembak petugas vaksinasi dengan tudingan mereka melakukan sterilisasi terhadap warga Afghanistan.
Narasumber ketiga Dr Abdul Haris, Dekan Fakultas Ushuludin, IAIN Jember mengupas kajian hukum Islam (fiqih) terkait hukum imunisasi. “Sempat beredar isu, vaksin campak dan rubela menggunakan organ babi. Padahal tidak seperti itu,” ujarnya.
Haris menyarankan, petugas kesehatan menggandeng kalangan pesantren agar lebih mudah mengenalkan imunisasi di masyarakat. “Masih ada sebagian masyarakat bawah, yang masih melihat siapa yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan. Di sinilah kiai sangat berperan,” ujarnya. (isa)