Gaung Puti Membakar Semangat Banteng se-Nusantara
Bagi masyarakat di luar keluarga besar kaum Banteng, sulit untuk memahami mengapa kehadiran Puti, putri Guntur Sukarno Putra, di arena pertempuran politik Pilkada 2018, gemanya begitu membahana. Gaung suaranya sampai ke telinga kaum banteng di seluruh pelosok Nusantara.
Kehadiran Puti ini pada dasarnya adalah kerinduan panjang akan kehadiran figur Guntur SP dalam kancah politik Indonesia. Sejak awal perjuangan menumbangkan Orde Baru, kerinduan ini sudah tumbuh dan rapih tersimpan dalam hati setiap kader banteng hingga sekarang. Kehadiran Puti pun seakan mencairkan gunung es kerinduan tersebut.
Google telah mencatat, dalam beberapa detik pencarian figur Puti mencapai angka sangat fantastis, 13 juta dalam satu detik. Di lapangan politik nasional, ‘Puti-mania’ di kalangan kader Banteng tiba-tiba terbangun begitu saja. Imbasannya hingga ke Sumatera Utara, Jawa tengah, sampai ke Indonesia bagian timur. Seluruh slagorde organisasi yang mengusung panji-panji bergambar banteng menjadi terpanggil untuk melakukan konsolidasi di daerahnya masing-masing. Terutama dimana pemilihan kepala daerahnya mulai memasuki tahap pengusungan calon.
Kebangkitan kesadaran untuk merapatkan barisan ini lebih dipicu oleh kesadaran ideologi ketimbang pendekatan kepada partai. Tidak semua daerah yang calonnya diusung PDIP serta merta mengais keuntungan dari momentum ‘kebangkitan’ ini. Di Sumut, para banteng di sana semangat melakukan konsolidasi menggalang kekuatan mundukung Djarot. Tapi tidak demikian halnya di Jawa Barat. Di Jawa tengah para banteng tua dan muda bangkit melakukan konsolidasi menggalang kekuatan. Apalagi ketika mereka mendengar adanya upaya mem-PKI-kan mereka.
Kembalinya PDIP kepada jalur amanat Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, telah dicanangkan dalam pidato HUT PDIP yang ke 45 oleh Ketua Umum PDIP sendiri, Megawati. Bahkan Jokowi sebagai kader partai turut menimpali agar kader Banteng bersatu bergotong royong melakukan konsolidasi kekuatan barisan Pancasilais sejati.
Hanya saja yang menjadi masalah, adakah atau tersedia dan cukupkah kader dan fungsionaris PDIP, baik di pusat maupun daerah yang bisa menjadi motor konsolidasi kekuatan di daerah masing-masing? Karena bangunan budaya politik transaksional di era refomasi keblinger ini telah melahirkan suasana yang menuntut para kader dan fungsionaris partai untuk lebih pandai melakukan transaksi (bisnis-dagang politik) ketimbang memahami dan menghayati garis perjuangan dan ideologi partai.
Kecenderungan gagal memahami arahan pidato Megawati pada HUT PDIP ke-45 ini lebih disebabkan karena terlalu sedikitnya para fungsionaris partai yang merapat ke partai dengan alasan kesamaan atau minim ketertarikan ideologi. Itu sebabnya, kehadiran Puti yang selama duduk di DPR mewakili PDIP untuk periode kedua, dinilai oleh para banteng di luar PDIP sebagai figur yang bersih, cerdas, dan menjanjikan harapan. Dalam menempuh karier politiknya pun Puti telah mengalami beberapa ganjalan dan cobaan yang tidak mudah. Terganjal di Pilkada Jakarta, begitu juga di Jawa Barat, dan baru lolos di Jawa Timur. Dengan catatan perjalanan panjang ini, lolos di Jawa Timur menjadi obat rindu kaum banteng akan kehadiran seorang sosok Guntur, putra sulung Bung Karno, terbayar sudah!
Akankah kehadiran Puti di arena pertempuran Pilgub memperebutkan kursi Jatim 1&2 berdampak signifikan bagi perolehan suara Gus Ipul untuk keluar sebagai juara-pemenangnya? Jawabannya sangat ditentukan oleh kerja keras dan kekompakan antara pendukung Puti dan Gus Ipul yang berada dalam dua kubu berbeda, dan bergerak bersama dalam satu barisan. Bila barisan kaum Nahdliyin dan barisan rakyat Marhaen bersatu dan berjalan kompak, kemenangan adalah sebuah keniscayaan !
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement