GATOT : SAYALAH NANTI YANG PANTAS JADI PRESIDEN...
Oleh : Yusuf Susilo Hartono
Kalau kartunis GM Sudarta (alm) punya "Om Pasikom", Dwi Koen (alm) punya "Panji Koming", lalu Gatot Eko Cahyono punya apa? Mantan kartunis koran sore Sinar Harapan dan Suara Pembaruan, yang kini berumah di Kasongan, Bantul, Yogyakarta itu punya "Ngujo roso" (menurut EYD bahasa Jawa, penulisannya : nguja rasa).
Ngujo roso bukan tokoh kayalan sang kartunis lho, melainkan falsafah atau sikap berkarya kartunis lulusan ISI Yogyakarta. Secara bebas ngujoroso dapat diartikan menuruti atau membiarkan semua permintaan atau keinginan perasaan. Sederhananya, ngujo roso adalah perasaan yang bebas.
Meski demikian, dalam mengkartun Gatot tidak berani bebas-lepas-bablas-tanpa batas. Bahkan DNA kritik dalam kartun-kartunnya sangat "njawani". Manis, ibarat gudeg Yogyakarta. Hanya saja ia menyelipkan brotowali, sehinga sehabis rasa manis ada rasa pahit. Itulah "obat" (baca kritiknya, sindiran, atau pasemon) yang bertujuan untuk membuat humor yang menyehatkan.
Kritik demikian itu dalam kearifan lokal Jawa disebut "ngono yo ngono, nangin yo ojo ngono, begitu ya begitu, tapi jangan (dikatakan) begitu". Karena tidak verbal, maka kritik tidak secara langsung (menggunakan metafora) orang berfikir dulu baru ngeh-nya kemudian. Tentu kritik gaya Jawa ini, bukan milik Gatot sendiri, tapi sudah kaprah dipakai para kartunis lain, juga penyair, pelukis, teaterawan, pencipta lagu, bahkan yang DNA-nya bukan Jawa.
Dalam pamerannya di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, bertajuk "Politik Poliglenik", 4-14 Maret 2023, yang dibuka oleh budayawan Mohamad Sobary, Gatot yang hari ini (10/3/2022) ulang tahun ke 62, masih konsisten menampilkan kartun dengan latar kreatif seperti itu. Dari segi artistik, visual, ia tidak menawarkan sesuatu yang baru.
Misalnya mencoba kartun berwarna, yang digarap secara manual, komputer, maupun teknik campuran. Ia masih setia -- di zona nyaman -- menggunakan spidol hitam pada kertas putih ukuran folio. Dengan senjata garis-garis spontan dan arsir. Kehadiran arsir ini, terkadang berfungsi sebagai bayangan, penyeimbang komposisi/ruangan, kedalaman, dll.
Suara kritiknya masih saja "dititipkan" pada tiga ikon favorit: burung, anak kecil bertopi dan lelaki Jawa berpakaian tradisi Yogyakarta, lengkap dengan blangkon. Tapi si burung, anak kecil, dan lelaki Jawa itu, ewuh pakewuh, dan tidak punya nyali kalau harus mengeritik orang nomer satu di negeri ini. Ketika saya tanya : 'Takut ya Mas?" Jawabnya hanya: "Hahaha", panjang.
Ke-180 kartun yang dipajang seperti kereta api tiga jalur, tanpa stasiun-satsiuan, bertarih 2020 hingga 2022. Ada beberapa yang lebih tua. Sebagian besar sudah pernah dimuat di media massa dan media online. Kartunnya yang menggunakan ikon lelaki Jawa, dengan teks berbahasa Jawa, dimuat di majalah mingguan berbahasa jawa Djaka Lodhang, Yogyakarta. Selebihnya kartun dengan teks berbahasa Indonesia ditayangkan di media online monitorindonesia.com, yang ia menjadi pemimpin redaksinya.
Lalu apa yang terbaru dari kartun-kartun Gatot yang pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro? Pertama, isi atau persoalan yang diangkat dalam kartun-kartunnya. Kedua, ini yang tak kalah penting, bagaimana dia menyikapi berbagai persoalan -- mulai dari Covid-19, Perang Rusia-Ukraina, tragedi Sambo, wacana Presiden tiga periode, bakal Calon Presiden, dll. -- yang menjadi sumber ide kartun-kartunnya. Sikap tersebut dapat terbaca dari teks (tertulis/visual) dan konteksnya.
Pada kartunnya tentang pandemi, Gatot menggambarkan bulatan virus Covid-19 yang ngedumel kecewa "Sontoloyo", lantaran dikendalikan oleh tali yang dipegang tangan pemerintah dan masyarakat. Bahwa Covid ngedumel, itulah pernyataan humoristik orisinal Gatot. Pada kartun Rusia-Ukraina, digambarkan dua tangan Rusia-Ukraina saling menembak, dan seekor burung perdamaian yang sedang berdiri di atas tengkorak kepala berseru/bertanya (mewakili suara hati Gatot): Apa yang dicari?
Terkait kasus kepolisian, Gatot menggambarkan lelaki Jawa, sedang menyapu, angan kiri mengangkat topi jenderal polisi, sedangkan tangan kanan menyapu (kasus pembunuhan, kasus narkoba, kasus ...) seraya bilang "Wis Wayahe Reresik". Sedangkan pada kartun lain Dewi Keadilan yang ditodong senjata (ada tulisannya : Kasus Sambo) yang dipegang tangan ajaib, nampak kancing di ujung lengan jasnya sebentuk bintang dua. Jika dibandingkan dengan kartun-kartun sejenis, di luar sana masih banyak yang lebih genuin.
Menanggapi wacana "Presiden tiga periode!, Pemilu diundur!" yang pernah santer di Senayan, Gatot dengan satir, menggambarkan sosok berdasi berkopyah, dengan lidah menjulur (bertuliskan) "Amandemen", menjilat sepatu. Sang pemakai sepatu itu hanya kelihatan dua kaki, dalam posisi sedang duduk di kursi, tidak kelihatan wajah. Apakah itu kaki Presiden Jokowikah?
Pameran Gatot yang kurang mendapat sentuhan kuratorial yang memadai ini, ditutup dengan kartun politis : "Sayalah nanti yang pantas jadi presiden, karena saya keturunan Raden Angkarajaya..." Tergambar di sana sosok manusia berjas berdasi dengan wajah raksasa. Omong-omong itu siapa ya Mas Gatot hehehe.