Ada yang gatal tangan. Ingin sekali agar Iran diserang. Tapi ia sendiri tidak mau melakukan. Inginnya: Amerika-lah yang menyerang Iran. Atau Israel. Atau siapa saja. Asal jangan negaranya. Itulah Arab Saudi. Tangan Saudi kian gatal. Minggu lalu. Ketika instalasi minyaknya diserang drone. Dengan sangat masifnya. Padahal itu instalasi terbesarnya. Milik Aramco. Perusahaan Amerika yang sudah dibeli sepenuhnya oleh Saudi. Minyak Aramco adalah juga sumber utama bahan baku kilang kita yang di Cilacap. Yang desainnya memang dicocokkan untuk produk Aramco. Serangan drone itu sendiri bukan yang pertama. Tapi yang terbesar. Yang menyerang juga sudah mengaku: pejuang Houti. Dari Yaman. Yang anti Saudi. Terutama sejak Saudi menyerang Yaman. Lima tahun lalu. Houti dianggap memberontak Pemerintah Yaman yang didukung Saudi. Tapi Houti berhasil menahan serangan militer Saudi. Bahkan ibukota Yaman, San'a, sepenuhnya bisa direbut Houti. Sampai sekarang. Perang Yaman ini tercatat sebagai gebrakan penguasa baru Arab Saudi: Pangeran MbS --Mohamad bin Salman. Yang saat itu usianya baru 28 tahun. Gebrakan lain adalah menangkap keluarganya sendiri. Para sepupunya. Menahan mereka. Dengan tuduhan korupsi. Lalu, yang itu. Terbunuhnya wartawan Jamal Khashoggi. Yang dibunuh di konsulat Saudi di Istanbul, Turki --saat Jamal diantar calon istrinya ke konsulat itu untuk mendapat surat-surat persyaratan menikah. Mayatnya pun sampai dihilangkan. Dan gedung konsulat itu sekarang juga akan dihilangkan --ditawarkan untuk dijual. Menurut Arab Saudi, Iran-lah yang mendukung pejuang Houti di Yaman. Mana mungkin bisa sekuat itu. Yaman itu kecil. Miskin. Saudi itu besar. Kaya raya. Tapi Houti yang menang. Setidaknya belum kalah. Bahkan justru menyerang ke jantung kehidupan Saudi. Iran selalu menolak tuduhan di balik Houti. Tapi Iran juga siap untuk perang --kalau Amerika sampai menyerang. Sebenarnya Amerika sudah getem-getem. Ingin sekali segera menyerang Iran. Sejak drone Amerika dijatuhkan Iran. Tidak jadi. Juga sejak kapal tangker minyak Inggris ditahan Iran. Tidak jadi. Lalu ada serangan drone yang masif ke instalasi minyak Aramco itu. Juga tidak jadi. Ups, jadi. Ups, tidak jadi. Ups, entahlah. Sebenarnya banyak juga tokoh di sekitar Presiden Donald Trump yang juga gatal tangan. Misalnya John Bolton. Penasihat keamanan nasionalnya. Keinginan Bolton perang terus. Kumisnya yang kaku dan panjang itu seperti kian mirip paku saja --dan kian memutih. Tapi Trump justru memecatnya. Minggu lalu. Arab Saudi sendirilah yang mestinya sangat marah. Tapi sama sekali tidak ada minat menyerang Iran. Mungkin juga tidak ada keberanian. Internal Saudi memang tidak kuat-kuat amat. Media Barat meramal MbS --kalau pun akan dilantik jadi raja-- bisa jadi raja terakhir. Houti sendiri mengaku serangan dronenya itu sukses karena ada bantuan dari dalam Saudi sendiri. Begitu besar orang asli Yaman yang menjadi penduduk Saudi. Memang sebaiknya Saudi jangan perang. Selesaikanlah dulu Yaman. Mundurlah dari sana. Akibat serangan Saudi itu penderitaan di Yaman luar biasa. Dulu Yaman hanya miskin. Kini miskin dan penuh derita. Vladimir Putin pun bilang begitu. Saat presiden Rusia itu bertemu Recep Tayyip Erdoğan tiga hari lalu. Di Turki. Sampai-sampai Putin mengutip ayat suci Alquran. Surah Ali Imran, ayat 103: "Berpeganglah kalian pada Quran bila...". Secara tidak langsung justru Putin mengingatkan Raja Arab Saudi untuk berpegang pada Alquran. Erdogan setuju itu. Erdogan memang lebih pro-Iran. Lebih anti-Saudi. Untung ada perang dagang Amerika-Tiongkok. Untung pula ada heboh Brexit. Pun untung ada demo sepanjang sepur di Hongkong. Untung ada semua itu. Kalau tidak, dunia Islamlah yang kelihatan masih terus heboh sendiri di antara mereka.(Dahlan Iskan) Arab Saudi Amerika Serikat