Garuda Tak jadi Untung, Malah Merugi Rp 2,45 T di 2018
Emiten penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) akhirnya menyajikan ulang (restatement) laporan keuangan tahun buku 2018. Dalam penyajian ulang laporan keuangan tersebut, Garuda mencatatkan kerugian, bukan untung seperti yang dilaporkan sebelumnya.
Dalam materi paparan publik yang disampaikan Garuda dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), setelah ada penyesuaian pencatatan maskapai penerbangan ini merugi US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).
Ada selisih US$ 180 juta dari yang disampaikan dalam laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Pada 2018 perseroan melaporkan untung US$ 5 juta atau setara Rp 70,02 miliar, seperti dilaporkan cnbcindonesia.com
Selain laporan laba-rugi, dalam penyajian ulang laporan keuangan 2018 ini nilai aset perseroan yang tercatat juga berubah menjadi US$ 4,17 miliar dari sebelumnya tercatat US$ 4,37 miliar. Ada selisih sebesar US$ 204 juta.
Demikian pula total liabilitas yang berkurang US$ 24 juta menjadi US$ 3,44 miliar. Total ekuitas turun US$ 180 juta menjadi US$ 730 juta.
Pada pos pendapatan lain-lain bersih, juga disajikan lagi dengan angka US$ 38,9 juta dari sebelumnya US$ 278,8 juta. Terjadi penyusutan pendapatan sebesar US$ 239 juta.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI kompak memberikan sanksi atas laporan keuangan GIAA tahun buku 2018 yang dinilai melanggar ketentuan dari standar akuntansi yang ada.
Untuk itu, setelah melakukan konsultasi panjang dengan lembaga yang memayungi akuntan publik, OJK dan bursa meminta manajemen perusahaan untuk menyatakan kembali laporan keuangannya.
Tak hanya untuk laporan keuangan periode yang berakhir pada Desember 2018, namun juga untuk laporan keuangan interim Maret 2019.
Sanksi tersebut dikenakan setelah Garuda mencatatkan piutang dari PT Mahata Aero Technology untuk penyediaan teknologi wifi, sebagai pendapatan. Padahal kontrak tersebut berdurasi lama dan ini menjadi pertanyaan sebagian besar kalangan.
Restatement laporan keuangan 2018 ini memang selambatnya harus disampaikan pada 26 Juli 2019 atau hari ini.
Tak hanya sanksi administratif, OJK juga mengenakan denda berlipat kepada direksi dan komisaris perusahaan. Denda pertama senilai Rp 100 juta karena tak memberikan penjelasan mengenai alasan adanya komisaris yang tak ikut menandatangani laporan keuangan yang dimaksud. Hal ini dinilai telah melanggar peraturan OJK No. 29 Tahun 2016 terkait laporan keuangan.
Denda selanjutnya dikenakan kepada masing-masing direksi senilai Rp 100 juta untuk pertanggungjawaban atas salah penyajian laporan keuangan yang tak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Direksi dan komisaris (terkecuali yang tidak ikut menandatangani) secara kolektif juga akan dikenakan denda Rp 100 juta atas pertanggungjawaban telah menandatangani laporan keuangan tersebut.
"Dewan direksi dan dewan komisaris PT Garuda Indonesia yang turut tanda tangan melanggar pasal 16 POJK 2016, jadi secara kolektif dikenakan sanksi Rp 100 juta," tegas Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi.
BEI juga mengenakan denda kepada emiten penerbangan pelat merah ini senilai Rp 250 juta. Pengenaan ini karena dinilai melanggar ketentuan Nomor III.1.2 Peraturan BEI Nomor I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi.
Tak cukup sampai di situ, Kemenkeu juga menjatuhkan sanksi kepada Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan (member BDO International), selaku auditor laporan keuangan PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan Entitas Anak Tahun Buku 2018.
Kemenkeu melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) mengenakan sanksi pembekuan izin selama 12 bulan terhadap AP Kasner Sirumapea, yang sudah bergabung dengan BDO sejak 2012.