Elang Jawa Terus Diburu, UU Konservasi Tak Pernah Membuat Takut Penjerat Elang
Prihatin? Jelas! Malah lebih dari sekadar prihatin. Bagaimana pun Elang Jawa, endemik Pulau Jawa itu, memiliki kesejarahan yang panjang di negeri ini. Fundamental malah. Founding father negeri ini menempatkannya sebagai identitas bangsa.
Dheny Mardiono, POLHUT Muda Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Jember, salah satu pengawal Elang Jawa di habitat CA/TWA Kawah Ijen di Kabupaten Banyuwangi itu mengemukakan, monitoring terhadap pergerakan Elang Jawa terus dilakukan dari waktu ke waktu. Tak hanya sebatas tugas negara, tetapi juga merupakan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Dheny menyebut, inventarisasi dicatat dalam data baseline. Populasi Elang Jawa sebelumnya diketahui berjumlah 4 ekor. Monitoring pada tahun 2011 ditemukan ekor. Pada 2012 terdeteksi sebanyak 4 ekor. Sementara monitoring pada tahun 2013-2015 sebanyak 8 ekor. Tahun 2016 tercatat sebanyak 11 ekor Elang Jawa pada dua site monitoring Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Timur.
Lantas bagaimana dengan kondisi populasi tahun 2017? Simpulan yang bisa dicatat sama persis dengan kondisi populasi di tahun 2016 dan hanya ditemukannya sebanyak 11 ekor. Jadi, apakah Burung Garuda itu tingga 11 individu saja? Inilah tugas beratnya.
Hasil pemantauan terakhir, yaitu monitoring di Blok Banyulinu, kawasan Cagar Alam Kawah Ijen, saat itu ditemukan 4 jenis raptor dengan waktu aktivitas yang berbeda tiap jenisnya. Salah satu jenis yang terpantau itu adalah Elang Jawa.
Elang Jawa itu dijumpai saat pagi pukul 08.00-09.00 WIB hari dan sore hari pukul 16.00-17.00 WIB. Elang itu sedang beraktivitas di lokasi blok Banyulinu. Jenis raptor lainnya dijumpai antara pukul 09.00-16.00 WIB, juga beraktivitas di blok Banyulinu.
Simpulannya, tingkat perjumpaan Elang Jawa, jika dihitung dalam perhitungan rumus, didapatnan nilai 1,5. Nilai ini berarti termasuk dalam tingkat perjumpaan yang tidak umum atau jarang dijumpai. Kondisi ini diduga karena adanya gangguan terhadap habitat sehingga mengakibatkan Elang Jawa sulit dijumpai.
Beberapa kemungkinan bisa dipaparkan. Antara lain, adanya akses jalan ke lokasi wisata TWA Kawah Ijen yang melintasi habitat Elang Jawa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jenis ini berpindah sarang ke lokasi lain yang jauh dari aktivitas manusia.
Sementara itu lokasi monitoring pada blok Hutan Pancur berjarak sekitar 25 km dari blok Hutan Banyulinu Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup. Pengamatan di blok Pancur dikerjakan pada waktu yang sama dengan waktu pengamatan pada blok hutan banyulinu. Yaitu pada tanggal 7-11 September 2017. Kegiatan monitoring dilakukan di titik koordinat 8° 5'29.34"S dan 114°14'21.47"T.
Selama pengamatan/monitoring dijumpai berbagai macam jenis raptor, namun perjumpaan dengan Elang Jawa hanya pada hari ke 3. Hasil identifikasi secara langsung Elang Jawa yang terdapat di blok pancur berjumlah 2 ekor. Lokasi pengamatan pun bergeser ± 1,5 km dari site monitoring tepatnya di perkebunan Pancur Angkrek pada titik koordinat S 08.00.42,74 dan E 114.06.17,71”.
Pengamatan di kawasan hutan Blok Pancur di Kabupaten Bondowoso paling anyar ternyata memiliki nilai 0,2. Nilai ini berarti jenis ini juga jarang dijumpai.
Populasi Elang Jawa di Blok Pancur mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Ini disebabkan karena adanya indikasi perburuan terhadap Elang Jawa di lokasi ini.
Fathur, salah seorang warga Desa Kluncing, berprofesi sebagai pesanggem kopi di site monitoring menginformasikan, sekitar bulan Februari 2017 ada penjerat burung yang berasal dari daerah Maesan, Bondowoso berhasil menangkap Elang Jawa sebanyak 2 ekor.
Kata Fathur, jerat yang digunakan berupa jaring yang diperkirakan berukuran lebar 12 meter dan panjang 60 m. Elang yang terjerat itu bahkan memiliki jambul. Maka indikasi kuatnya menunjukan bahwa satwa tersebut adalah Elang Jawa.
Informasi Fathur sangatlah penting. Artinya elang langka ini masih seksi menjadi bahan perburuan.
Faktor lain menjadi penyebab menurunnya jumlah Elang Jawa di site monitoring ini juga karena adanya aktivitas manusia berupa pembukaan lahan oleh pesanggem untuk ditanami tanaman kopi dan kubis.
Pembukaan lahan dengan disertai pembakaran mengakibatkan satwa tersebut berpindah dari habitatnya. Selain itu dengan adanya aktivitas manusia tersebut memungkinkan berkurangnya mangsa untuk Elang Jawa.
Jadi, bagaimana dengan efektivitas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970, tanggal 26 Agustus 1970 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, berikut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa? Apakah kurang sosialisasi? Atau mungkin karena mental masyarakat itu sendiri yang tidak pernah peduli betapa pentingnya Burung Garuda ini sehingga pergerakan perburuannya masih bisa terdeteksi. (*)
Advertisement