Jangan Sampai Terjadi Kartel di Industri Pesawat Terbang
Kritik pedas para netizen tak kunjung berhenti. Gara-garanya tiket mahal. Andaikan ada harga tiket turun itu pun juga basa basi. Netizen gemas dan “marah”. Pada puncak kemarahannya sampai menyerang Presiden Jokowi.
Kegemasan netizen terjadi sejak pertengahan Desember 2018. Berlangsung terus hingga Minggu kedua Februari 2019.
Puncak semua itu pada kemarin malam, di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ke-IV di Ballroom Puri Agung Hotel Grand Sahid Jakarta.
Tanpa basa basi, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Hariyadi Sukamdani berkeluh kesah, langsung di depan puluhan kamera dan dihadapan Presiden Jokowi.
Kata dia, naik harga dan ogah turun itu bukan hoax. Ini kenyataan. Ini sangat berimbas pada sektor pariwisata khususnya bisnis hotel, restoran dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), petani sayur dan peternak ayam. Dampaknya panjang, karena rantai bisnis pariwisata itu memang mengakar sampai ke dasar.
"Jangan sampai terjadi kartel di industri pesawat terbang. Faktanya, Pak Menhub BKS sudah memanggil industri airlines, INACA, tetap saja bandel, turunnya dikit. Masyarakat masih menjerit. Padahal Ketua Inaca adalah dirut Garuda yang juga BUMN," ujar Hariyadi.
Agak aneh memang. pejabat nomor satu di Garuda Indonesia, membiarkan polemik berkepanjangan. Merelakan Presiden dikritik, Menteri Perhubungan dianggap tidak bisa menjaga tata niaga airlines, dan pemerintah dianggap gagal.
Keganjilan ini juga dilontarkan Presiden Jokowi langsung. “Ini memang aneh. Saya dapat penghargaan sebagai Bapak Pariwisata Indonesia! Padahal harga tiket mahal,” aku Presiden Jokowi yang disambut tepuk tangan riuh.
Diungkapkan Hariyadi, kenaikan tiket pesawat menyebabkan industri perhotelan turun 20-40%. Sektor UMKM yang produksi souvenir turun drastis, dan orang cenderung outbound ke luar negeri karena lebih murah. “Ini malah membuat devisa keluar,” katanya.
"Di saat presiden mendorong pariwisata berkembang, justru INACA menjadi sumber penghambat baru. Angkasa Pura juga ikut turun sampai 25%," ungkap Hariyadi.
Tahun ini, tingkat hunian kamar hotel berbintang dalam perkiraannya bakal stagnan di kisaran 55 persen, sama seperti tahun 2018. Padahal, tingkat okupansi hotel berbintang pada 2017 bisa mencapai 57 persen.
“Kalau masalah tiket mahal terus terjadi, tingkat okupansi kamar bisa jauh di bawah 55 persen, mungkin sekitar 40 persen,” sambung Hariyadi yang lagi-lagi merasa heran.
Catatan PHRI menunjukkan, jumlah kamar hotel berbintang saat ini mencapai 350.000 unit dan hotel nonbintang sebanyak 310.000 unit. Sementara, jumlah restoran sudah mencapai di atas 100.000 unit.
Sejalan dengan turunnya tingkat okupansi, jumlah penambahan kamar pada tahun ini juga tercatat hanya sekitar 20.000-25.000 unit berbanding dengan realisasi tahun 2018 yang mencapai 28.000 ribu kamar.
Hal ini akhirnya direspon Presiden Jokowi. Presiden mengaku telah menerima banyak keluhan terkait tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan di dalam negeri. Menurut Presiden, tingginya harga tiket pesawat ini karena harga bahan bakar pesawat yaitu avtur di Indonesia ternyata sangat mahal.
“Saya terus terang juga kaget, dan malam hari ini juga saya baru tahu mengenai avtur. Ternyata avtur yang dijual di Soekarno-Hatta itu dimonopoli oleh Pertamina sendiri,” kata Presiden Jokowi.
Karena itu, Presiden Jokowi akan mengundang Dirut Pertamina terkait tingginya harga avtur di dalam negeri itu. Dia menegaskan pilihannya hanya satu, harganya bisa sama dengan harga internasional. Kalau tidak bisa, berarti pemerintah akan masukkan kompetitor yang lain sehingga terjadi kompetisi.
“Ya pilihan-pilihannya kan hanya itu, sudah enggak ada yang lain. Karena memang, ini sangat-sangat mengganggu sekali,” tegas Presiden.
Sementara, Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra membantah adanya kesepakatan atau Kartel antar maskapai atas kenaikan harga tiket. Ia menyebut komponen biaya operasional penerbangan belakangan juga cukup tinggi.
"Bukannya sepakat. Nah yang sepakat itu menurunkan harga. Kalau sepakat menaikan harga, harganya bisa sama dong. Itu namanya oligopoli, tapi ini kan karena Garuda naik ya maskapai lain ikut naik," kata Ashkara.
Pria yang akrab dipanggil Ari ini menjelaskan, salah satu komponen pembentuk ongkos penerbangan, adalah bahan bakar pesawat, avtur. Belakangan, harga avtur sempat melambung di pasar. Padahal, bahan bakar menyumbang 40-45 persen dalam komponen pembentuk ongkos.
"Pembayaran komponen cost dalam dolar Amerika Serikat, sementara kurs berfluktuasi, komoditas juga harganya berfluktuasi," ujar pria yang juga Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) ini.
Komponen lainnya, lanjut Ari, adalah leasing pesawat sebesar 20 persen. Persoalannya, saat ini maskapai tidak punya banyak pilihan terkait leasing. Perusahaan leasing didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa.
Ari menambahkan, komponen pembentuk ongkos penerbangan lainnya adalah perawatan pesawat atau maintenance sebesar 10 persen. Dalam hal maintenance, maskapai sangat bergantung kepada dua perusahaan besar Airbus dan Boeing lantaran yang memiliki lisensi. Dan komponen lainnya yang membentuk harga adalah gaji pegawai sebesar 10 persen.
"Jadi ini pasar oligopoli, kami tergantung kepada fluktuasi airbus dan boeing. Kompo en pegawai ini adalah masyarakat Indonesia yang perlu makan jadi masuk dalam komponen," ujar Ari.
Dari biaya penerbangan itu, maskapai mengambil margin keuntungan di kisaran 1-3 persen. Margin 3 persen diperoleh bila penerbangan dipatok di kisaran tarif batas atas. Adapun tarif batas atas Indonesia, menurut Ari, belum naik lagi sejak 2016 lantaran memperhatikan daya beli masyarakat.
Dampaknya, Ari menceritakan bahwa Garuda Indonesia tetap didera kerugian meski telah memasang harga sesuai dengan tarif batas atas. Untuk itu, dia mengatakan perseroan mesti memikirkan pemasukan lain di luar tiket pesawat. (idi)
Advertisement