Gapasdap Sebut Kenaikan Kurs Dolar Picu Biaya Operasional Angkutan Penyeberangan Membengkak
Naiknya nilai tukar dolar AS akhir-akhir ini membuat biaya operasional angkutan penyeberangan semakin membengkak. Kondisi ini akan mengakibatkan operator kapal kesulitan menjalankan operasional sesuai dengan standarisasi keselamatan dan pelayanan kenyamanan sesuai dengan SPM (Standar Pelayanan Minimal).
Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Rahmatika, saat berkunjung ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Kamis, 27 Juni 2024, mengatakan, tarif angkutan penyeberangan yang ditentukan pemerintah saat ini semakin tertinggal. Hal ini, menurutnya, akan membuat pengusaha angkutan penyeberangan kian sulit memenuhi standarisasi tersebut.
"Dengan ketertinggalan tarif dan semakin menguatnya nilai kurs mata uang asing yang di mana sebagian besar biaya operasional kapal penyeberangan sangat dipengaruhi oleh kurs mata uang asing baik spare part, bahan bakar dan komponen biaya lainnya," jelasnya.
Menurutnya, kondisi tarif angkutan penyeberangan telah mengalami kekurangan perhitungan tarif sebesar 31,8 persen mulai dari tiga tahun yang lalu. Ditambah lagi, kenaikan harga BBM dua tahun lalu yang tidak diimbangi dengan kenaikan tarif sesuai dengan yang sebenarnya waktu itu.
Pemerintah, lanjutnya, melakukan kenaikan tarif untuk angkutan penyeberangan secara bertahap dengan mencicil 15 persen pada 2021 dan tahap kedua sebesar 5 persen pada 2022. Sehingga tarif masih tertinggal jauh di atas 30 persen.
"Maka di tiga tahun terakhir ini beberapa anggota Gapasdap mengalami kebangkrutan dan diganti dengan operator baru lainnya," bebernya.
Perhitungan tarif yang dilakukan Kementerian Perhubungan bersama YLKI dan Kemenko Marvest serta Gapasdap, pada tahun 2019. Saat itu kurs dollar AS sebesar Rp14.523 dibanding saat ini sebesar Rp16.386.
Oleh karena itu, untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan, Gapasdap meminta pemerintah untuk segera menindaklanjuti penyesuaian tarif angkutan penyeberangan sesuai dengan biaya operasional yang sudah dihitung bersama-sama antara pemerintah, YLKI dan Kemenko Marvest.
“Pemerintah seyogyanya tidak menutup mata dengan kondisi yang ada di angkutan penyebrangan,” ujarnya.