Ganja, dari Sudut yang Berbeda
Ganja kembali menjadi berita, setelah seorang artis ditangkap. Tulisan pendek ini mencoba melihat ganja dari sudut pandang yang berbeda.
Tak lama setelah pelawak Nunung ditangkap polisi karena narkoba jenis sabu-sabu, aktor Jefri Nichol dicokok karena ganja di apartemennya. Dengan barang bukti 0,36 gram sabu untuk Nunung dan 6,01 gram ganja untuk Jefri. Dilihat dengan kacamata hukum, Nunung dan Jefri bisa dikenai pasal yang sama, penyalahgunaan narkotika golongan 1.
Berita penyalahgunaan narkotika ini mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Cannabis, karya jurnalis Jerman, Mathias Broeckers. Terutama, tentang penjelasan rusaknya image tanaman ganja, akibat disejajarkan dengan narkotika jenis lain.
Dalam buku yang dicetak tahun 2002 di Italia itu kurang lebih menjelaskan: berbagai regulasi antiganja yang diatur di berbagai negara, tidak lantas membuat sejarah dan manfaat yang terkandung dalam tanaman ganja menjadi hilang.
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita lihat kembali bagaimana Indonesia memandang ganja. Berdasarkan regulasi di Indonesia, ganja dikategorikan dalam narkotika Golongan 1. Sekategori dengan heroin, sabu-sabu, cocain dan opium.
Semenakutkan itukah ganja?
Mathias Broeckers mencatat, pada 1908, pemerintah Inggris menemukan efek pemakaian ganja sebagai “psychoactive drug”. Kemudian pada 1911-1931, dalam Konferensi negara-negara untuk membicarakan opium, ganja dimasukkan sebagai barang yang harus diwaspadai.
Paparan Patri Handoyo dalam bukunya, War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia (yang juga dikutip jurnalis Zaky Yamani di DW.com) menjelaskan sejarah masuknya ganja dalam golongan 1 narkotika.
Pada akhir 1930-an, saat perusahaan di Amerika Serikat DuPont menemukan serat sintetis, dilakukan lobi kepada pemerintah AS untuk memasukkan ganja ke dalam narkotika golongan 1.
Singkat kata, pelarangan ganja itu disepakati dan menjadi regulasi internasional, Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961. Indonesia meratifikasi kesepakatan itu, dan memasukkannya sebagai hukum positif hingga saat ini.
Manfaat
Dari apa yang saya pahami melalui buku Mathias Broeckers, memasukkan ganja dalam narkotika golongan 1, sungguh berlebihan. Karena sebagai tanaman, ganja memiliki manfaat luar biasa.
Kasus Fidelis Arie Sudewarto yang berhadapan dengan hukum karena menanam ganja untuk mengobati istrinya yang kena kanker, tidak menggoyahkan cara pandang terhadap ganja.
Tanaman yang masuk dalam keluarga Cannabaceae ini bisa tumbuh dalam kondisi cuaca apa saja, tanpa bantuan zat kimia pestisida. Biji-bijinya memiliki protein lebih banyak, dan bisa menjadi kedelai jenis baru. Pada tahun 1794, Presiden AS George Washington memerintahkan manajer perkebunannya untuk memaksimalkan pemanfaatan benih “Indian hemp seed” atau ganja.
Thomas Jefferson, saat menjadi Duta Besar di Paris berusaha membeli biji ganja dari Turki dan Cina. Sementara Benjamin Franklin membangun pabrik kertas berbahan tanaman ganja pertama kali di AS.
Tanaman ini menghasilkan serat 2-3 kali lebih banyak dari katun. Mathias Broeckers menuliskan, pada 1873, celana jeans asli pertama kali yang dibuat Levi Strauss, berasal dari serat ganja. Begitu kuatnya serat yang dihasilkan, tercermin dari logo dua kuda yang menarik celana panjang. Tidak ada serat kain sekuat itu, selain serat tanaman ganja.
Dengan pengolahan yang tepat, tanaman ganja bisa menjadi sumber bahan bakar industri, bahan bangunan, hingga bahan baku plastik organik. Belum lagi untuk obat-obatan.
Di Cina, pada era Dinasti Shen Nung di tahun 2737 SM, pengggunaan ganja dalam dunia medis sudah diperkenalkan. Mulai sakit asam urat, rematik sampai malaria, memasukkan elemen ganja dalam rangkaian obat-obatannya. Dalam buku ramuan herbal Cina, Pen Tsao, ganja juga direkomendasikan untuk berbagai penyakit, seperti pikun, komplikasi kelahiran, ketidakteraturan menstruasi, penyakit kulit, dll. Begitu juga ramuan obat-obatan kuno dari India, Tibet, Afrika, Roma, Rusia atau dunia Arab.
Legal atau Ilegal
Dalam perkembangan dunia, semakin banyak negara yang melegalkan ganja. Di AS misalnya, QZ.com memberitakan, ada 10 negara bagian AS yang melegalkannya sebagai “rekreasi”. Selebihnya, tidak mengkriminalisasi pemakai ganja dan legal untuk kebutuhan medis. Namun ada juga negara bagian yang tetap mengaturnya sebagai barang ilegal.
Di luar AS, berikut negara-negara yang memperbolehkan pemakaian ganja dengan berbagai peraturannya: Canada, Uruguai, Peru, Spanyol, Belanda, Thailand, Korea Selatan, Jamaika, Portugal, Argentina, Cambodia, Costa Rica, Czech Republic, Ecuador, Italia, Estonia, Meksiko, Israel, dan Jerman (thekindland.com).
Bagaimana dengan Indonesia? Meski usulan legalisasi terus digaungkan, namun jauh panggang daripada api. Kasus Fidelis Arie Sudewarto yang berhadapan dengan hukum karena menanam ganja untuk mengobati istrinya yang kena kanker, tidak menggoyahkan cara pandang terhadap ganja.
Apalagi, aturan yang tertuang dalam UU No. 7 tahun 1997 diperbaharui dengan disahkannya UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Posisi ganja sebagai barang ilegal tidak berubah.
Di sisi lain, memposisikan ganja sebagai narkotika juga tidak membuat pemakainya jera. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, ganja menjadi barang bukti narkotika dengan jumlah terbanyak. Sepanjang 2018, tercatat 41,3 ton ganja disita.
Dalam sebuah artikel lama di Hukumonline.com, Tomi Harjatno, Konsultan Ahli BNN yang juga Direktur Pengembangan Indonesia National Institute on Drug Abuse (INIDA) pernah mengatakan, perlu diadakan penelitian untuk menempatkan ganja secara proporsional.
Secara umum, jelasnya, ganja tidak menimbulkan ketagihan (withdrawal) seperti halnya morfin. Ganja juga tidak pernah menimbulkan overdosis dan tidak menimbulkan sifat agresif.
*) ID Nugroho, Penulis Adalah Arek Suroboyo
Advertisement