Gandrik dan Pensiunan, Kini Ada yang Beda
Pementasan Teater Gandrik, memenuhi kerinduan bagi publik seni di Indonesia. Kali ini, teater legendaris dari Jogjakarta ini, mementaskan "Para Pensiunan 2049". Penulis naskahnya, Agus Noor dan Susilo Nugroho, disutradarai Djaduk Ferianto. Kali ini, memang beda dengan pementasan Teater Gandrik yang sebelumnya dikenal -- selalu menghadirkan naskah Heru Kesawamurti. Berikut catatan dari pementasan tersebut, ditulis Dodi Kuskrido, untuk ngopibareng.id berjudul "Gandrik dan Pensiunan" (Redaksi):
“Hidup sebenarnya hanya menunda pensiun,” kata Gandrik. Tentu, itu adalah plesetan penggalan puisi Chairil Anwar yang teramat populer. Teknik berhumor plesetan memang kerap dipakai para aktor Gandrik di berbagai pementasan lakonnya.
Saya datang ke Taman Budaya Yogyakarta dengan kenangan lama, pentas Pensiunan, yang naskahnya ditulis Heru Kesawamurti dan dimainkan Teater Gandrik tahun 1986. Sebelum masuk, saya membayangkan tata panggung yang akan mirip sebuah loket kantor pos, tempat para pensiunan itu mengantri jatah pensiun bulanan. Di sana, Pak Giwang, Pak Sudi, Bapak dan Ibu Minggir dan para pensiunan lainnya akan bergantian mengobrol tentang problem kesehariannya seraya menganimasi isu-isu sosial-politik yang sedang populer – menyulap penderitaan menjadi kekocakan. Pendeknya, saya mengira, alur ceritanya akan sama namun dengan pengisian isu-isu sosial-politik yang lebih mutakhir.
Tapi ketika membaca sinopsis di booklet, judul pentas itu ternyata sedikit berbeda: Para Pensiunan 2049. Penulis naskahnya pun bukan lagi Heru Kesawamurti, tapi disebut dua nama: Agus Noor dan Susilo Nugroho. Nama sutradara yang tercantum di buku tipis itu Djaduk Ferianto – profil besar lama dengan fungsi baru.
"Tapi, pensiunan Gandrik adalah pensiunan yang kelabu, karena mereka adalah sosok individual yang tinggal menunggu datangnya maut. Mereka menghadapi kematiannya secara sendiri-sendiri. Mereka, tak seperti sejawatnya di negara-negara maju, bukanlah sebuah kelompok demografi dengan kepentingan kolektif yang memiliki harga kebijakan publik."
Ketika pentas dibuka, saya mendapatkan tata artistik yang lebih semarak pula. Ong Harry Wahyu membangun kijing batu kokoh dan tinggi di tengah panggung, yang di baliknya tersembunyi proyektor cahaya. Proyektor itu menembakkan warna terang dengan silhouette pohon rindang ke dinding lebar batas panggung belakang. Kijing tinggi itu rupanya membikin titik batas imajiner antara dunia sehari-hari dengan dunia setelah kematian.
Kali ini, yang diributkan para pensiunan pun berlainan. Bapak Doorstoot, mantan orang penting yang diperankan Butet Kartaredjasa, adalah almarhum yang mengalami kesulitan untuk menggeletakkan jasadnya sendiri di kuburan. Pak Kerkop (Susilo Nugroho), sang pejabat penjaga gerbang, menolak penguburannya. Gara-garanya, sang almarhum dan keluarganya gagal menunjukkan SKKB (Surat Keterangan Kematian yang Baik) yang dikeluarkan oleh KPK (Komisi Pertimbangan Kematian). Surat itu hanya bisa dikeluarkan jika orang yang mati diyakini bebas dari korupsi semasa hidupnya. Untuk mendapatkan SKKB, ironinya, salah satunya adalah dengan cara menyuap.
Cerita pokok itu bisa membawa asosiasi penonton ke banyak peristiwa mutakhir: kasus penolakan penguburan ke makam komunitas karena perbedaan pilihan politik, kasus elitis syarat administratif kelayakan jabatan yang kelak bisa ditukar dengan jasa keputusan lembaga, atau kasus pelaku korupsi yang masih cengengesan ketika ditahan dan disidang, dan sebagainya.
Di tangan Gandrik, situasi itu menjadi ladang subur kejenakaan. Doa untuk almarhum pun tergantung tarifnya, ada doa paket komplit ada doa paket hemat.
Tapi, pensiunan Gandrik adalah pensiunan yang kelabu, karena mereka adalah sosok individual yang tinggal menunggu datangnya maut. Mereka menghadapi kematiannya secara sendiri-sendiri. Mereka, tak seperti sejawatnya di negara-negara maju, bukanlah sebuah kelompok demografi dengan kepentingan kolektif yang memiliki harga kebijakan publik.
Sejak awal, kekuatan Gandrik adalah mementaskan tragi-komedi dengan bumbu humor dan satire yang bertebaran di sepanjang pentas. Di tengah kegawatan pergaulan sosial, Gandrik bisa bercanda secara jenial meskipun saya mendengar bahwa naskah asli itu harus dibeteti sedemikian rupa agar tidak menyinggung kelompok sosial yang galak. Namun, untuk urusan pembetetan ini, saya perlu memeriksa naskah awal yang dikirimkan melalui Whatsapp ke saya -- jauh sebelum pentas. (Dodi Kuskrido)