Gambarnya Wayang, Jualannya Kopi, Bukanya Bengi, Cocok Tenan
Biasanya orang buka kedai kopi punya logo andalan. Lalu dipasang besar-besar sebagai bagian dari properti kedai kopinya. Selain properti sekaligus juga sebagai hiasan. Lalu untuk sarana branding dan marketing.
Cangkir, gelas, aneka alat kopi, uap panas mengepul, pohon kopi, biji kopi, cherry kopi, petik kopi, hingga caping petani biasanya akan dieksplor habis-habisan untuk dijadikan logo. Mulai drawing, dimural, hingga printing digital. Jadilah sesuatu yang indah. Lalu menjadi bagian penting dari perform sebuah kedai.
Itu biasanya. Ada juga sih yang tidak biasa. Kedai Djawi namanya. Dipinggiran kota Sidoarjo. Sekaligus pinggiran kota Surabaya. Tapi jangan salah, bukan pinggirannya yang digarisbawahi. Strategisnya yang harus disebut. Berapa banyak orang Surabaya yang tinggal di Sidoarjo. Dan, berapa banyak orang Sidoarjo yang bermigrasi sesaat untuk bekerja di Surabaya. Pulangnya pasti cari kopi dan ngopi.
Kedai Djawi berada di Sawotratap persisnya. Lewat depan PT. Panggung lalu ke kiri, kemudian ke kiri lagi setelah melompati sungai. Cukup jauh menusuk kampung yang seperti di ujung gunungan.
"Itu, di atas gunungan wayang, adalah gambar Raden Janaka. Kadang disebut Raden Permadi. Tapi yang populer sebutannya adalah Arjuna. Digandrungi para dewi-dewi kahyangan," kata Budi Joko yang kadang dipanggil Joko Budi dengan senyuman misteri .
Apakah Raden Arjuna terdeteksi ngopi? Sampai akhirnya jadi logo kedai kopi?
"Ngopilah!," Jawab Budi. Setiap lelaki yang ngopi itu pasti Arjuna lho. Soal namanya Kirun, Rudi, Slamet, Allan, Dilan, Charles, dll, itu urusan dia dan KTP-nya.
"Pokoknya, buat saya, lelaki ngopi itu, apalagi tanpa gula, adalah bak Arjuna. Layak digandrungi. Butuh keberanian lho untuk ngopi itu," serius Budi.
Masih menurut Budi, logo apapun untuk perform sebuah kedai kopi adalah baik. Karena doanya juga baik. Agar warung selalu hidup, agar selalu ada pengunjung, agar perjalanan kopi juga bisa dengan aman mengantar malam menuju pagi.
Kopinya? Nyaris semua kopi enak ada di meja seduhnya yang menggunakan gaya gerobak. Namanya memang Djawi, tapi kopinya bisa dari Aceh, dari Gayo, Sunda, Jambi Kerinci, dan seterusnya. Mungkin yang kurang banyak hanya kopi Jawa Timurnya.
Menurut Budi, Kedai Djawi yang dibangunnya digawangi sendiri. Kata Budi, pangkatnya jadi "Hangabehi". Bukan gelar raja Keraton Solo lho. Melainkan hangabehi yang berarti kabeh. Kabeh itu bahasa terkenal dari "semua".
Bukanya menjelang sore hingga jam 24.00. Lewat jam itu boleh juga, tapi hari tertentu yang beberapa stasiun radio memutar rekaman wayang kulit.
"Klop kan, sembil ngopi bisa wayangan sampai pagi. Kurang opo jajal...," canda Budi. (idi)