Gaji Suami Rp20 Juta, Isteri Belanja Rp50 Juta
Oleh: Djono W. Oesman
Menko Polhukam, Mahfud MD dua kali bicara korupsi di dua acara, Minggu (17/12). Pertama, dari 1.300 koruptor Indonesia sekarang, 84 persen sarjana. Kedua, banyak koruptor pria akibat memenuhi gaya hidup isteri. Gaji Rp 20 juta per bulan, belanja Rp 50 juta per bulan.
—-----------
KESIMPULAN, jika dua pernyataan Mahfud di dua acara itu dikaitkan, hasilnya begini: Pria berusaha keras jadi sarjana. Setelah lulus, lalu menikahi perempuan cantik yang berharap suami sarjana itu cepat kaya. Sehingga belanja Rp 50 juta.
Sesederhana itu analisis Mahfud tentang kondisi negeri kita sekarang. Tapi, sebagai guru besar bidang hukum, Prof Mahfud selalu berpegang pada data. Data KPK yang berada di bawah koordinasi Menko Polhukam, karena KPK sekarang tidak independen seperti dulu.
Soal populasi koruptor, Mahfud bicara (orasi ilmiah) di acara wisuda Universitas Negeri Padang di Padang, Sumbar, Minggu (17/12).
Mahfud: “Selama ini Anda (para wisudawan) berkutat di aneka laboratorium keilmuan. Ada laboratorium teknik, lab bahasa, lab kedokteran dan banyak lagi. Jika Anda tidak lulus dalam satu mata kuliah, maka bisa diulang. Belajar di laboratorium lagi. Lalu ikut ujian lagi. Bisa diulang.”
Sebentar lagi, lanjutnya, para wisudawan masuk ke laboratorium kehidupan. Inilah laboratorium yang sesungguhnya. Di laboratorium ini, orang tidak bisa main-main. Tidak boleh salah. Sebab, jika melakukan kesalahan, maka selesailah riwayat ujian hidup mereka.
Problematika di lab kehidupan jauh lebih rumit dibanding lab kampus. Ada banyak faktor di situ. Ada intrik dalam organisasi perusahaan, pemerintahan, bisnis, atau bidang apa pun yang dijalani. Ada persaingan. Terkait sistem. Juga faktor internal individu, seperti keluarga, kerabat, teman, partai. Dan, terpenting kualitas moral individu.
Repotnya, di lab kehidupan orang tidak bisa mengulang, jika salah. Misal, korupsi. Lalu dipenjara. Tamatlah riwayat karir. Sangat sulit untuk bangkit lagi. Berkarir lagi.
Sampai di situ Mahfud terlalu ideal. Ia mengabaikan, bahwa banyak bekas koruptor atau mantan narapidana korupsi, yang maju lagi sebagai calon anggota legislatif. Ikut pileg lagi. Di Jakarta ada Anggota DPRD yang bekas napi korupsi. Soal ini bukan salah Mahfud, melainkan bobroknya masyarakat kita. Terutama orang partai politik.
Mengapa Mahfud bicara korupsi kepada Gen Z yang lagi senang-senangnya diwisuda? Mereka baru kali ini pakai toga, yang diimpikan bertahun-tahun.
Mahfud: “Berdasar data KPK tahun lalu, jumlah koruptor Indonesia per akhir 2022 sekitar 1.50 orang. Katakanlah sekarang jadi 1.300 orang. Sekitar 84 persen dari mereka adalah sarjana. Jadi, sekitar 900 orang koruptor itu sarjana.”
Dilanjut: “Coba, koruptor yang dipenjara itu siapa? Profesor, doktor, banyak, pengacara, hakim, jaksa, masuk di situ karena korupsi, pemerasan, dan sebagainya.”
Para wisudawan-wisudawati melongo. Bengong. Mereka seperti tak menyangka digiring Mahfud ke arah situ. Sangat mungkin, para wisudawan-wisudawati belum berpikir punya rencana korupsi. Sekarang. Mereka masih ideal. Sebab, belum masuk laboratorium versi Mahfud itu.
Setidaknya, mereka sudah diingatkan Mahfud, bahwa mayoritas koruptor Indonesia sekarang (84 persen) dulunya mereka adalah wisudawan wisudawati seperti mereka sekarang. Yang waktu itu mereka juga belum mikir korupsi.
Diakhiri Mahfud; “Jadi… banggakan ijazah saudara hari ini. Tapi landasi ijazah itu dengan sikap moral positif. Akhlak yang baik."
Mahfud sangat disukai kalangan kiai dan santri. Karena selain berilmu tinggi juga dinilai berakhlak baik. Ia pengawal keadilan. Sampai-sampai ia selaku pejabat tinggi negara suka bicara ke publik, menekan aparat penegak hukum agar bertindak adil atas suatu perkara hukum.
Padahal dengan begitu ia sudah keluar koridor kelaziman pejabat tinggi negara. Sejatinya, aparat penegak hukum di bawah koordinasi Mahfud selaku Menko. Mestinya ia kendalikan di internal, tanpa publik tahu. Normalnya begitu. Tapi sepertinya ia sangat paham, bahwa aparat ini bandel-bandel. Atau sistem jelek. Sehingga aparat bandel. Bukti: Ia katakan terbuka, bahwa hakim dan jaksa juga napi korupsi.
Maka, ia tabrak kelaziman koridor pejabat tinggi negara. Sehingga ia berpikir, mungkin dengan diumumkan ke publik begitu membuat para penjahat itu agak jiper. Dikeroyok opini publik. Setidaknya mengurangi jumlah penjahat. Entah, apakah ini efektif atau tidak, Belum diriset.
Di acara ke dua, Mahfud bicara di Halaqah Kebangsaan dan Pelantikan Pengurus Majelis Zikir Al-Wasilah Sumatera Barat di Asrama Haji, Kota Padang, Minggu (17/12). Mayoritas hadirin ibu-ibu.
Di situ Mahfud memuji perempuan. Surga di telapak kaki ibu. Para ibu menggiring anak-anak mereka ke surga.
Dilanjut: "Ada yang mengatakan bahwa kaum perempuan itu adalah tiangnya negara. Kalau perempuan di suatu negara itu baik, maka negaranya itu akan baik. Kalau perempuannya tidak baik, negaranya tidak baik. Di sini kaum perempuan punya peran penting, ikut membangun negara.”
Dilanjut: "Suami-suami yang terjerumus ke dalam kejahatan ini karena istrinya tidak baik. Banyak koruptor yang sekarang masuk penjara, karena tuntutan istrinya. Gajinya cuma Rp 20 juta, belanjanya Rp 50 juta, yang dituntut dari suami."
Begitulah Mahfud. Bicaranya, disebut Orang Jawa, sebagai: Mak jleb… Tembus ke hati orang.
Kendati Mahfud mengatakan, banyak koruptor pria masuk penjara gegara tuntutan isteri lebih tinggi daripada gaji suami, yang berarti penyebab korupsi adalah perempuan, tapi kenyataan di Indonesia koruptor laki jauh lebih banyak dibanding koruptor perempuan.
Cuma ada beberapa koruptor perempuan Indonesia. Setelah mereka ditangkap KPK dan diborgol, lalu dipamerkan ke wartawan, mereka juga tidak malu atau menangis, sebagaimana karakter perempuan.
Mereka malah tersenyum melambaikan tangan. Ini unik. Mereka seolah berkata, bahwa sangat banyak teman mereka korupsi. Kebetulan saja belum ketangkap tangan KPK. “Cuman gue lagi sial, ketangkap.”
Ternyata jumlah koruptor perempuan lebih sedikit dibanding laki, tidak hanya di Indonesia. Di Inggris pun begitu.
Dikutip dari buletin ilmiah UKAid, berjudul: Why corruption matters: understanding causes? Effects and how to address them (Evidence paper on corruption, January 2015) disebutkan, jumlah koruptor pria jauh lebih banyak dibanding perempuan.
Itu diulas di sub bab: The gender dimensions of corruption. Disebutkan, meskipun jumlah koruptor perempuan lebih sedikit dibanding laki, tapi bukan jaminan bahwa perempuan lebih tidak korup dibanding laki.
Berdasarkan pengamatan empiris oleh Dollar, Fisman dan Gatti di riset mereka yang berpengaruh di World Bank pada 2001 menunjukkan, bahwa persentase perempuan di pemerintahan di negara tersebut lebih tinggi dibanding laki. Tapi jumlah perempuan korupsi lebih sedikit dibanding laki.
Bukti yang dianalisis di penelitian itu, menunjukkan bahwa perempuan lebih enggan mengambil risiko dibandingkan laki. Enggan, atau tidak berani mengambil risiko, misalnya, menerima uang suap.
Dilanjut, muncul pertanyaan, apakah aparatur perempuan lebih bermoral dibanding laki? Jawabnya: Belum tentu. Karena, moral milik manusia dari Allah, tersembunyi dalam sanubari. Tidak bisa diukur dengan indikator jumlah koruptor. Kalau perempuan tidak berani mengambil risiko korupsi, bukan berarti dia bermoral baik.
Sungguh, buletin ilmiah itu menyajikan kejujuran intelektual. Ada perilaku manusia yang bisa diukur, ada yang tidak. Ini berlaku untuk semua gender.
Jika dikaitkan dengan pernyataan Mahfud, bahwa perempuan jadi penyebab suami korupsi, maka bertolak belakang dengan data “The gender dimensions of corruption”. Kontradiktif. Bukti: Perempuan koruptor jauh lebih sedikit dibanding laki.
Barangkali, perempuan cuma tukang kompor terjadinya (suami) korupsi. Tapi enggan, atau tidak berani korupsi sendiri. Pantasan, koruptor perempuan Indonesia yang ketangkap tangan KPK malah tersenyum.
*) Wartawan Senior
Advertisement