DPRD Surabaya Merespon Soal Kesejahteraan Guru Sekolah Swasta
Pemerintah Kota Surabaya sedang menggodok upaya untuk menyejahterakan guru-guru swasta yang ada di Kota Pahlawan. Salah satu upaya yang masih dibahas terkait dengan upaya sharing guru atau satu guru yang bisa mengajar di beberapa sekolah.
Sharing guru ini diharapkan dapat memenuhi jam kerja guru swasta agar dapat mencapai target 24 jam kerja dalam satu minggu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya siswa di sekolah swasta non favorit.
Apabila target itu tercapai, maka guru swasta bisa mendapat gaji sesuai upah minimum kota (UMK) Surabaya. Hal itu disampaikan oleh Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Swasta, Erwin Darmogo, pada 11 Maret 2021.
Namun ternyata pernyataan itu berbanding terbalik dengan keterangan DPRD Kota Surabaya. Anggota Komisi D DPRD Surabaya Badru Tamam mengatakan, sekolah swasta khususnya SMP di Surabaya tidak mungkin kekurangan siswa.
Sebab masih ada ribuan siswa lulusan SD yang tak bisa masuk SMP negeri, yang bisa ditampung oleh SMP swasta. Baik itu swasta elit, swasta berbasis agama, maupun swasta berbasis social oriented.
"Kalau kekurangan murid itu tak mungkin. Dari 46.576 lulusan SD tahun lalu saja, negeri hanya bisa menampung 27.000-28.000. Kan masih ada sisa 16.000-18.000 siswa yang bisa masuk SMP swasta. Jadi data itu bagi saya tak pas lah," kata Badru Tamam, Senin 15 Maret 2021.
Selain itu, Badru Tamam melihat fenomena di mana saat kelulusan SD dipastikan ada 5.000-6.000 lulusan SD di Surabaya yang berpindah ke luar kota. "Baik itu masuk SMP negeri atau masuk pondok pesantren. Jika dikurang dengan murid yang 'transmigrasi' itu, masih ada sekitar 11.000-12.000 siswa yang bisa masuk sekolah SMP swasta," jelasnya.
"Rendahnya gaji guru di sekolah swasta kecil bukan karena tak adanya siswa semata. Namun lebih ke tak adanya intervensi Pemerintah Kota Surabaya terhadap kelangsungan hidup sekolah swasta tersebut," sambung Badru Tamam.
Untuk menjawab rendahnya gaji guru swasta karena jam kerja kecil karena siswa kurang, Badru Tamam meminta Pemkot untuk lebih perhatian kepada lembaga pendidikan swasta kecil tersebut. Apalagi pemerintah pusat sudah mencanangkan wajib belajar 12 tahun, maka Pemerintah Daerah harus mengikuti. Bukan hanya mensejahterahkan sekolah negeri, namun juga melakukam intervensi di sekola swasta kecil.
"Saya lihat pemkot tidak care. Sama sekali tak care. Dibiarkan begitu saja. Apalagi tahun lalu atau dua tahun lalu, mereka mau merobohkan SMP swasta Praja Mukti, mungkin masih ingat. Itu tanda bahwa Pemkot tidak pro kepada sekolah non elit, seakan diminta untuk mati. Padahal mereka ini lah sebenarnya pahlawan pendidikan, mereka bukan profit oriented namun social oriented," katanya.
Badru Tamam lantas memberi masukan salah satu bentuk kepedulian Pemkot terhadap sekolah swasta adalah dengan memberikan insentif atau tambahan gaji kepada guru. Tak usah muluk-muluk, Rp1 juta per bulan saja. Ia menilai, dengan nominal itu para guru sudah senang dan akan meningkatkan daya ajar mereka kepada murid.
"Pemkot memberikan bantuan dana sekolah perbulan atau per tahun kepada sekola swasta kecil, sebagai dana perbaikan saran dan prasarana. Itu bisa sebagai pacuan mereka memperbaiki kualitas sekolah, dan menarik minat orang tua dan siswa untuk sekolah di tempat tersebut," tuturnya.
"Skema adanya sekolah favorit dan tidak itu ya gara-gara pemkot sendiri yang tak memberikan fasilitas kepada sekolah swasta kecil. Coba dong intervensi, saya yakin se yakin-yakinnya, tak akan ada namanya kekurangan siswa di sekolah, atau guru yang kurang gaji. Jika itu diterapkan, InsyaAllah stigma sekolah favorit atau non favorit itu akan hilang," sambung dia.