Gagalnya Kepemimpinan Populis Lawan Covid-19
Oleh
EMILLY HOLLAND
The Center for Naval Warfare Studies at the United States Naval War College.
HADAS ARON
The Center for European and Mediterranean Studies at New York University
13 Maret 2020, menjelang pecahnya covid-19, Presiden Donald Trump men-tweet serangan terhadap mantan Wakil Presiden Joe Biden, yang diduga akan menjadi saingannya dalam pemilihan umum November. Ia juga menyarankan bahwa solusi utama untuk krisis virus tersebut adalah menutup perbatasan selatan.
Para pemimpin populis mengkonsolidasikan rezim mereka dengan mengkonstruksi ancaman yang diimajinasikan (rival politik, imigrasi yang tidak terkendali, atau pasukan internasional yang jahat). Mereka, kemudian, menawarkan solusi berskala besar yang tidak jelas untuk memerangi ancaman tersebut.
Namun, para pemimpin populis umumnya kurang berhasil ketika mereka ditantang untuk memberikan solusi yang efektif untuk ancaman nyata. Ini tidak mengejutkan karena pemimpin populis biasanya anti kemapanan dan menolak sistem aturan hukum yang terorganisir.
Lembaga-lembaga penyokong memiliki banyak kekurangan, tetapi mereka masih menjadi dasar untuk penyusunan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Tanpa mereka, ada kekacauan. Lebih lanjut, sebagian besar pemimpin populis saat ini lebih menyukai gaya pemerintahan yang kuat ala Putin-esque, tetapi menghadapi ancaman serius memerlukan tindakan kolektif.
Selama dekade terakhir, para pemimpin populis telah gagal untuk secara efektif menangani ancaman dan krisis nyata: penyebaran Covid-19 saat ini hanyalah yang terbaru dari serangkaian respons kebijakan populis yang membawa bencana.
Di Amerika Serikat, Presiden Trump menghabiskan tiga tahun pertama masa jabatannya dengan membongkar institusi dan organisasi yang dirancang untuk menanggapi krisis. Selama beberapa minggu pertama wabah Covid-19 yang kritis, ia sibuk berfokus pada ancaman imajiner (warga asing dan Partai Demokrat) alih-alih ancaman yang asli.
Sampai baru-baru ini, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memilih untuk sama sekali mengabaikan krisis. Jair Bolsonaro dari Brasil juga menolak ancaman coronavirus dan terus berinteraksi terhadap massa sementara anggota pemerintahannya sendiri dinyatakan positif mengidap virus itu.
Baru-baru ini, Menteri Kesehatan Turki membantah bahwa ada kasus Covid-19 di negara itu, meskipun ada bukti yang bertentangan. Ironisnya, media yang dikontrol pemerintah mengklaim bahwa gen orang Turki membuat sebagian besar orang dari mereka kebal terhadap virus.
Di Italia, respons pemerintah jauh lebih tegas, sebagian karena skala ancaman di dalam perbatasannya, tetapi juga karena kelompok populis berkuasa Gerakan Lima Bintang berada dalam koalisi pemenang dengan partai sosial demokratik yang sudah mapan secara tradisional, Partai Demokrat.
Gelombang populisme saat ini mencapai puncaknya dalam periode dengan sangat sedikit ancaman krusial, tetapi juga pada saat partai-partai mapan tidak memiliki visi. Di Amerika Serikat meningkatnya populisme dalam bentuk Tea Party dan kemudian, Trump, terjadi setelah krisis keuangan 2008. Tantangan yang paling eksistensial—hubungan ras, ketimpangan yang dalam dan sistem imigrasi serta layanan kesehatan yang rusak—sudah lama dan tidak mudah dipecahkan. Selama dekade terakhir, Kongres yang menemui jalan buntu (dan kekuatan yang meredakan dari ekonomi yang sedang booming) telah mempersulit politisi untuk menawarkan solusi konkret dan mungkin sulit untuk ancaman-ancaman tersebut.
Dalam kondisi demikian, cukup banyak orang Amerika memilih untuk fokus pada ancaman imajiner alih-alih ancaman nyata: memilih Donald Trump pada 2016. Di negara lain, bahkan jika ancaman itu sangat mendesak, solusi sama sekali tidak tersedia.
Di banyak negara Eropa, tidak ada aktor politik arus utama yang menawarkan solusi konkret selama bertahun-tahun terhadap kondisi ekonomi yang stagnan dan pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, tanggung jawab ini diserahkan kepada Uni Eropa. Dengan tidak adanya solusi konkret untuk ancaman nyata, mereka memobilisasi ancaman imajiner dan membuat solusi melangit seperti “membuat Amerika hebat kembali” atau mengembalikan Hungaria ke kejayaannya sebelum perang.
Wabah covid-19 membawa peran negara kembali ke garis terdepan: pemerintah penting, dan orang-orang memandang mereka harus memberikan solusi konkret terhadap ancaman serius. Di AS sebuah jajak pendapat dari minggu lalu menunjukkan bahwa meskipun kebanyakan warga Amerika tidak mempercayai pesan presiden tentang virus corona, mereka percaya pejabat kesehatan masyarakat dan pemerintah negara bagian dan lokal.
Lonjakan dukungan untuk Joe Biden dalam pemilihan presiden, dipandang sebagai kandidat Demokrat paling berpengalaman dalam suasana krisis, melebihi si populis Senator Vermont Bernie Sanders menunjukkan bahwa warga Amerika sedang mencari pejabat yang dapat diandalkan untuk membimbing mereka melalui masa-masa yang hampir pasti bergejolak di masa depan ini.
Kurangnya kepemimpinan populis yang ditampilkan dalam krisis Covid-19 tidak selalu menandakan matinya populisme. Sejalan dengan agenda populis, perbatasan ditutup di seluruh dunia dalam skala yang tidak pernah terjadi sejak Perang Dunia II.
Lebih lanjut, banyak pemimpin dapat menggunakan krisis untuk memperluas kekuatan negara dengan cara yang semakin merusak demokrasi. Di Israel, misalnya, pandemi bertepatan dengan krisis politik yang sedang berlangsung. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berhasil menggunakannya sebagai alasan untuk menunda persidangan yang akan datang dan menunda bekerjanya parlemen yang baru terpilih. Meskipun pemimpin populis sekarang mungkin kehilangan modal politik, mereka hampir pasti akan melawan, dan ancaman imajiner yang mereka gerakkan dapat terbukti lebih menakutkan daripada sebelumnya dalam menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi global.
Namun, ada satu pelajaran yang bisa diambil: untuk memerangi populisme, politisi arus utama sekarang harus memberikan solusi nyata untuk ancaman nyata. Ketika Demokrat dalam pemilihan paruh waktu 2018 memfokuskan pesan mereka untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan yang rusak, pemilih merespons.
Sekarang politisi mapan di seluruh dunia harus fokus untuk memberikan solusi praktis tidak hanya untuk krisis Covid-19 saat ini, tetapi juga untuk ancaman lama yang sulit termasuk ketidaksetaraan yang luas, sistem layanan kesehatan yang rusak, dan tantangan imigrasi.
Diterjemahkan dari Holland, Emilly & Hadas Aran. “The covid-19 crisis shows the failure of populist leadership in the face of real threats.” March 24, 2020. Tersedia di: https://blogs.lse.ac.uk/usappblog/2020/03/24/the-covid-19-crisis-shows-the-failure-of-populist-leadership-in-the-face-of-real-threats/
Diterjemahkan Ikwan Setiawan, dosen Universitas Jember. Berdasarkan kebijakan dari London of School Economics, artikel yang diterbitkan dalam blog ini bebas untuk disebarluaskan tanpa mengubah substansi.