Gaduh UKT di Kampus, JPPI Ingatkan Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis
Belum selesai perdebatan soal banyaknya pungutan liar dan mahalnya biaya sekolah, yang belakangan ramai melalui skema program studi tour dan wisuda, kini muncul kegaduhan tingginya biaya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi.
Bahkan, pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie, menurut Kornas Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Dengan tegas, Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier.
"Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar. Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah (yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun) yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai," kata Ubaid dalam keterangan tertulis Sabtu 18 Mei 2024.
Ternyata pembiayaan hanya dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%). Jika kalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar.
Jelas, faktor utama penyebab ATS ini adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 (Pasal 31) dan UU Sisdiknas (Pasal 34), masih sebatas retorika omon-omon.
Bagaimana degan PT? Tentu lebih mengenaskan lagi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, tentu karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap PT ini sebagai kebutuhan tersier.
Karena itu, Jaringan menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH.
Mengapa harus public good, dan bukan kebutuhan tersier? Jelas karena pendidikan adalah menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu? Amanah ini jelas termaktub dalam pembukkan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan bahwa, salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat soal agenda ini. Dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, tentu pendidikan hinga SMA/SMK saja tidak cukup, anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan tinggi perguruan tinggi. Karena itu, peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting.
Jadi, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi. Ini harus dilakukan pemerintah supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama (non-excludability) dan tidak berkompetisi saling mengalahkan (non-rivalry) dalam mengaksesnya.
Karena itu, terkait dengan polemik UKT ini, JPPI memberikan beberapa rekomendasi:
1. Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.
2. DPR RI, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT, karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT.
3. Kemendikbudristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT.
4. Pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Jangan persekusi dan intimidasi mahasisa yang sedang berpendapat di muka umum. Juga, pimpinan kampus harus memsperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan Menyusun Kembali besarn UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa.
5. JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini. Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis.
Advertisement