Gabah Turun, Pembangunan Desa?
Nasib petani padi tahun ini kurang beruntung, harga gabah turun cukup jauh dari patokan harga pembelian pemerintah Rp4500 per kg. Sejak beberapa hari terakhir, harga gabah kering berkisar Rp3.200 sampai Rp3.700.
Ada dua sebab, pertama terjadi surplus (menurut BPS / Kompas 19 Maret 2021) pada periode tanam Januari - Juli 2021 produksi sekitar 25,37 juta ton atau kenaikan 26,88 %.
Kedua; ada rencana pemerintah untuk import beras 1 juta ton, untung rencana itu kemudian tidak disetujui oleh DPR pada 16 Maret yang lalu.
Perhatian pemerintah terhadap desa sebenarnya cukup besar sejak era Presiden Soeharto hingga saat Presiden Joko Widodo. Bahkan sudah ada Kementerian Desa dan Percepatan Pembangunan Desa.
Wajah desa juga lebih meningkat dari era saya kecil 60 tahun yang lalu seperti tersedianya listrik dan tempat pendidikan SD - SMP- SMK dan Puskesmas, sayang KUD malah lesu. Tetapi kemajuan itu masih tertinggal dengan desa-desa misalnya di Korea Selatan dan Taiwan.
Harga Gabah Terpuruk
Keterpurukan harga gabah yang merupakan pencaharian utama petani menjadi pelajaran atau lebih tepat sebagai “Cambuk“ untuk mengatasi apa dan dimana permasalahannya ?.
Ada yang berpendapat, pembangunan lebih borientasi politik dan mungkin ini benar. Waktu zaman Pak Harto, Lurah punya tugas informal memenangkan Golkar. Sejak reformasi Lurah punya peranan strategis dalam meraup suara Pemilu.
Sekitar sepuluh tahun lalu saya pernah beberapa hari blusukan di desa- desa Taiwan ditemani teman saya, Pak Bey Sofyan yang pernah tinggal di sana beberapa tahun. Taajub! Desa-desa ditata baik dan terlihat maju sesuai dengan perkembangan ekonomi dan dibarengi pendekatan ilmiah.
Dalam suatu zone yang terdiri tiga sampai lima desa dibimbing oleh sekitar 3 ahli pertanian. Ada beberapa tempat pembibitan padi semi modern milik swasta dengan metode baru, tidak lagi metode tradisional dengan cara benih disebar dipersemaian lalu kemudian dipindah ke sawah dengan menggunakan tangan.
Pembibitan model baru dengan cara meletakkan benih di atas cetakan tanah (ukuran 50 x 50 cm) disimpan dipersemaian selama seminggu dan setelah itu dipindahkan ke sawah dengan menggunakan traktor. Proses sangat cepat setiap hektar sekitar setengah jam.
Jenis tanaman dan luas tanah untuk setiap jenis tanaman diatur disesuaikan dengan kebutuhan nasional dan eksport. Sistem penanaman semua dengan cara modern diawasi oleh penyuluh pertanian. Pasca-panen juga demikian, proses memanen dengan menggunakan mesin, kemudian langsung dikirim ke tempat pengeringan.
Setiap desa boleh memiliki mesin pengering sendiri dan juga mesin penggilingan beras skala kecil. Tetapi pemerintah juga menyediakan mesin pengering dan penggilingan beras skala besar.
Bayangkan kalau Koperasi Unit Desa (KUD) memilik mesin pengering dan penggiling beras yang juga dimodifikasi untuk jagung. Nasib petani bisa tertolong. Gabah atau beras yg sudah melalului proses pengeringan bisa tahan 3 tahun disimpan. Sedang beras tanpa melalui proses pengiringan hanya tahan 6 bulan kemudian berjemur / membusuk.
Serba teratur secara sistematik sehingga pemerintah bisa mengontrol suplay and demand sehingga harga stabil. Karena beras merupakan bahan pokok kedua setelah gandum, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan, setiap hari rabu sebagai “hari beras”, dimana pegawai kantor swasta dan negara wajib makan beras.
Negara seluas Jawa Barat itu pernah ekspor beras ke Indonesia.Ketika ada krisis beras dunia beberapa dekade yang lalu perwakilan Bakin di Taiwan dan juga di Hongkong diberi tugas untuk mencari beras ke Taiwan dan RRC dan berhasil. Keduanya mengekspor beras ke Indonesia dengan harga lebih murah dari harga dunia.
Di Korea Selatan juga jauh lebih maju,,pada hal mereka meniru manajemen ala KUD yang dimulai sejak Presiden Park Chung Hi setelah mempelajarinya dari Indonesia. Mereka sebut, Saemaul Undong semacam gotong royong ala Korsel. Seperti halnya Taiwan , Korsel juga membangun desa sesuai kaidah ilmiah. Mereka mengelola desa dengan pendekatan entrepreneurship.
Saatnya, pemerintah lebih besar memberi perhatian terhadap desa dengan pendekatan teknologi dan keilmuan. Sabagai contoh kalau Malaysia saja bisa ekspor duren “Musang King" dan “Ulu-Ulu”, karena ahli tanaman turun gunung mendukung kebijakan pemerintah.
Kenapa kita tidak bisa? Padahal jenis duren kita lebih unggul. Misalnya duren medan, duren petruk dan lain-lainnya.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, tinggl di Jakarta.
Advertisement