Frasa Agama ala Nadiem, Untuk Maju Tidak Harus Sekuler
“Nadiem Bingun Ada Polemik Frasa Agama di Visi Pendidikan”. Itu judul berita yang saya temukan di portal CNN Indonesia, 10 Maret 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengaku tidak paham mengapa muncul polemik kata “agama” yang tidak ada dalam Visi Pendidikan 2035 dalam Peta Jalan Pendidikan yang tengah digodok kementeriannya.
Bagi Nadiem, tidak ada yang salah dengan “hilangnya” frasa itu. Sebab, di Profil Pelajar Pancasila yang diatur dalam Peta Jalan Pendidikan, sudah disebutkan bahwa Profil Pelajar Pancasila mengarahkan terbentuknya pelajar yang memiliki karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak mulia.
“Kalau ada aspirasi dari masyarakat kata ‘agama’ itu penting dalam frasa itu, ya kita silahkan masuk dalam peta jalan. Nggak masalah. Nggak perlu panik, nggak perlu menciptakan polemik. Kita terbuka,” tuturnya dalam Rapat Kerja Bersama Komisi X DPR, Rabu 10 Maret 2021.
Klir. Saya rasa, kita tidak perlu berpolemik berkepanjangan atas hal itu. Jangan digoreng. Itu masih rancangan. Bisa diubah! DPR, khususnya Komisi X harus terus mengawal hal itu. Jangan sampai, peta pendidikan yang sedang digodok itu salah jalan.
Pengawalan ketat, saya harapkan juga datang dari ormas-ormas keagamaan. Khususnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua ormas keagamaan terbesar di republik ini. Jangan sampai generasi mendatang hasil besutan pendidikan “Made In Nadiem” putus koneksi dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Saya percaya, Nadiem tidak punya niat jahat dengan tidak adanya frasa agama itu. Terbukti, dia mengaku bingung dan bersedia untuk memasukkannya.
Terkait dengan itu, saya hanya bisa berujar, “itulah Nadiem”. Generasi muda era sekarang yang besar dan tumbuh dari dialektika global.
Makanya, saya tadi minta jangan terlalu dipolemikkan. Yang terpenting, bagaimana semua elemen bangsa ini menemani Nadiem dalam merumuskan Peta Pendidikan. Jangan salah jalan.
Nadiem Makarim adalah performa generasi muda Indonesia yang sukses. Dia cerdas dan tangkas dalam memahami perubahan jaman. Tidak hanya memahami, tapi juga bisa mengambil peran di tengah-tengah perubahan besar itu.
Kebanyakan dari kita, tentu ingin semua anak bangsa sesukses Nadiem. Keinginan ini logis. Mudah dipahami, Dan, rasanya, itulah salah satu dasar mengapa Nadiem yang masih sangat muda itu ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan. Kementerian yang sangat vital dalam menyiapkan performa manusia Indonesia masa depan.
Saat mendesain Pendidikan Indonesia, Nadiem pun saya yakin membayangkan anak-anak Indonesia di masa mendatang bisa sesukses dirinya. Tangguh berselacar di arena global. Itu tidak salah. Sesuai job description yang diamanahkan Jokowi ke dirinya.
Dengan penguasaan IT yang mereka miliki, generasi muda seperti Nadiem akan memandang dunia ini hanya selebar layar smart phone atau laptop. Batas-batas negara dan juga perbedaan karakteristik masing-masing negera, tidak akan lagi nampak jelas di layar smart phone mereka.
Artinya, generasi mendatang adalah generasi yang tidak lagi memandang penting nasionalisme. Begitu juga dengan budaya bangsa dan agama. Bisa jadi, lebih dari itu. Mereka akan memandang budaya bangsa dan agama menjadi hambatan untuk sebuah kemajuan.
Asumsi saya itu mungkin akan dianggap berlebihan. Bisa dikatagorikan dalam karakteristik manusia konvensional. Tapi, saya yakini tidak utopis. Kalau kita mengamati dengan jeli, tanda-tenda menuju ke arah sana sudah ada.
Peta jalan manusia global memang seperti itu. Nadiem, juga anak-anak Indonesia yang sejak kecil mengalami “Pendidikan Global” kurang lebih seperti itu. Mereka lebih terbentuk sebagai manusia global daripada manusia Indonesia.
Seperti diketahui, Nadiem, lahir di Singapura. Sekolah di Indonesia hanya sampai tingkat SMP. SMA-nya dia tempuh di Singapura. Setelah itu, dia kuliah di Amerika. Pernah juga mengikuti pertukaran pelajar di Inggris (kompas.com, 23 Oktober 2019). Artinya karakter dan kepribadian Nadiem, lebih lama dibentuk oleh dialektika budaya global daripada budaya Indonesia.
Pertanyaan besarnya, apakah seperti itulah gambaran ideal generasi Indonesia mendatang yang kita mimpikan?
Menurut saya, masalah inilah yang lebih urgen untuk didiskusikan. Artinya, kita tidak hanya berhenti kepada polemik ada tidaknya frasa agama dalam Visi Pendidikan Indonesia 2035. Namun, lebih kepada dasar filosofisnya.
Saya khawatir, yang saat ini ikut ramai mempersoalkan “hilangnya frasa agama” itu, tidak menyadarai kalau pada hakikatnya, filosofi pendidikan kita selama ini sudah bergeser pelan-pelan. Memang frasa agama masih ada. Namun, prakteknya, banyak yang mengabaikan hal itu. Faktanya, pendidikan kita cenderung sekuler. Pendidikan diorientasikan untuk kepentingan industri.
Itu terjadi sejak lama. Paling tidak, sejak sistem pendidikan Barat diusung oleh pemerintah kolonial Belanda ke negeri ini. Sejak itu, sistem pesantren yang berbasis agama dimarginalkan. Dan itu, terus dilestarikan hingga pemerintahan Indonesia di bawah kendali oleh anak-anak negeri sendiri (merdeka).
Ikhtiar untuk mengembalikan spirit agama dalam pendidikan memang terus diupayakan. Namun, arus sekulerisme juga terus masuk ke sendi-sendi pemikiran bangsa ini. Akhirnya yang kita temui, frasa agama acap kali hanya terpampang manis di atas kertas. Prakteknya, menjauh dari frasa itu.
Karena itu, kita tidak perlu berlebihan menuduh macam-macam kepada Nadiem. Dia dan generasi yang setipe dengannya adalah anak jaman. Mereka lahir dari rahim peradaban manusia yang traumatik dengan agama.
***
Budaya global yang kita saksikan saat ini dan membentuk generasi setipe dengan Nadiem adalah budaya global yang lahir dari rahim sekulerisasi. Pada abad 18 M, di Eropa terjadi gelombang besar gerakan untuk memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama. Mereka menilai, dominasi agama yang absolut telah menjadikan ilmu pengetahuan mati. Ini terjadi mulai abad 10/11 M hingga abad 18 M.
Gerakan yang kemudian dikenal dengan istilah aufklarung itu, menorehkan dua sejarah besar. Yakni, terpecahnya agama Kristen menjadi Kristen Katolik dan Protestas, serta berkembang pesatnya ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahun pada tahap berikutnya berimplikasi besar terhadap kemajuan teknologi (industri).
Seiring dengan kemajuan industri itu, lembaga pendidikan yang semula didesain untuk kepentingan manusia, kemudian beralih didedikasikan untuk kepentingan industri. Desain pendidikan, tidak lagi merujuk kepada titah agamawan. Melainkan, mengikuti arahan dan petunjuk kaum kapitalis, penguasa industri.
Desain pendidikan seperti itu, hingga saat ini diyakini sebagai desain ideal. Standar-standar capaian pendidikan pun diarahkan ke sana. Semua negara di dunia menggunakan acuan itu. Dengan sedikit modifikasi, desain pendidikan di Indonesia, juga seperti itu. Hanya, masih lumayan “frama agama, kreteria manusia Indonesia seutuhnya yang bertakwa dan beriman”, masih selalu dicantumkan.
Sampai sejauh ini, desain pendidikan seperti itu, masih diyakini kebenarannya. Artinya, desain pendidikan yang dianggap ideal saat ini adalah desain pendidikan yang berbasis kepada sekularisme.
Indonesia yang selama ini mencoba “melawan” arus global itu, menurut saya harus terus dijaga staminanya. Kita jangan terseret ke dalam kejiwaan dan sosiologis bangsa eropa (barat). Kondisi di negeri ini, ada celah-celan untuk kita tetap menganggap berbeda.
Mari kita dengan jernih memahami. Absolutisme agama yang akhirnya membelenggu kemajuan ilmu pengatahuan pada hakikatnya bukan berakar dari agama. Tapi, lebih kepada salah tafsir (mis-interpretasi) para pemuka agama. Dalam konteks Eropa, itu dilakukan oleh para pendeta. Bukan, para ulama (Islam).
Peradaban Islam tidak pernah menemukan munculnya gerakan absolutisme agama seperti yang terjadi di Kristen. Bahkan, ketika Eropa mengalami masa kegelapan, dunia Islam sedang berada di puncak peradaban. Perluasan Islam sampai Eropa, Afrika dan Asia justru terjadi di masa-masa itu.
Ajaran Islam yang tertuang di Al -Quran dan Al Hadis, tidak ada yang mengindikasikan anti ilmu pengetahuan. Sebaliknya, Islam malah mendorong kemajuan ilmu pengatahuan. Bila faktanya, kemajuan ilmu pengetahun bangsa-bangsa yang mayoritas muslim saat ini tertinggal dengan yang non muslim, itu bukan dikarenakan ajaran agamanya. Melainkan dari umat Islamnya.
Bila kita sepakat dengan pemahaman itu, maka untuk memajukan ilmu pengatahuan (Pendidikan) di negeri ini, tidak harus menjauhkan dari agama (sekuler). Tapi, cukup mengubah dan memperbaiki cara berpikir dan bersikap kita. (bersambung)\
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban, Jawa Timur.
Advertisement