Fragmen Tulang Pandean (1430) Ternyata Nenek Moyang Warga Pandean
Masih ingatkah dengan penemuan arkeologi berupa Sumur Jobong dan tulang belulang di kampung Pandean Surabaya pada awal November 2018 lalu? Penemuan itu sempat memunculkan berbagai dugaan tentang kekunoan kampung Pandean di kelurahan Peneleh Surabaya.
Setelah dilakukan penelitian di Laboratotium Radio Karbon, Australian National University, Canberra, Australia dan test DNA di Laboratorium Human Genetic, Universitas Airlangga Surabaya, hasilnya mengungkap bahwa tulang belulang itu adalah nenek moyang warga Pandean.
Pada awal November 2018, sumur Jobong bukanlah satu satunya temuan penting di Pandean Surabaya. Selain sumur jobong, ternyata juga ditemukan fragmentasi arkeologi berupa tulang belulang dan batu bata kuno yang memiliki ukuran besar layaknya batu bata candi.
Khususnya untuk mengetahui latar belakang tulang belulang itu, pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga untuk melakukan penelitian.
Selain melakukan uji DNA di Universitas Airlangga Surabaya, penelitian juga dilakukan di Laboratorium Radio Karbon, Australian National University, Canberra.
Dari hasil penelitian itu, diketahui ada 29 fragmen tulang dari beragam bentuk dan ukuran. Kondisi tulang belulang ini, ada yang tertutup lempung kering dan ada pula tulang-tulang dengan matriks sejenis semen.
Selain itu di beberapa tulang terdapat pola patahan baru, yang diduga akibat proses penggalian di lokasi penemuan. Ketika ditemukan (awal November 2018), di kampung Pandean memang ada proyek penggalian untuk menanam box culvert.
Dalam identifikasi fragmen tulang belulang atau sisa rangka ini, proses penelitian yang dilakukan mengacu pada protokol Antropologi Forensik, yang disesuaikan dengan kondisi temuan.
Kemudian dilakukan identifikasi secara antroposkopis dan antroposmetris dengan urutan protokol identifikasi. Pertama, penentuan tulang manusia dan bukan manusia. Kedua, mengestimasi jumlah minimal individu dan Ketiga, penentuan profil biologis: afiliasi populasi, jenis kelamin, umur, dan tinggi badan.
Hasilnya adalah teridentifikasi 12 fragmen tulang hewan (vertebrata – famili Bovidae dan Cervidae) dan 17 fragmen tulang manusia (humerus bayi, vertebrae, costa, humerus, femur, tibia, fibula, calcaneus, metatarsal, digitorum).
Khusus untuk memperlakukan 17 fragmen tulang manusia, maka dilakukan metode penghitungan jumlah element tulang, yang berulang serta menghitung seluruh fragmen tulang, yang hasilnya diidentifikasi terdapat 5 individu dari satu populasi (etnis)
Sementara untuk menentukan jenis kelamin dari kelima individu tersebut, penelitian dilakukan berdasarkan temuan robustisitas tulang tibia dengan memperhatikan diameter caput humeri, indeks platymeria, serta panjang tulang metatarsal. Hasilnya diketahui bahwa ada satu individu berjenis kelamin laki-laki dan tiga individu berjenis kelamin perempuan.
Kemudian, penelitian dilanjutkan untuk mengetahui usia dari kelima individu (satu bayi dan 4 dewasa). Penelitian ini dilakukan berdasarkan penyatuan epiphysis tulang, yang selanjutnya diketahui bahwa tulang Epiphysis proksimalis humerus berusia sekitar 24 tahun, Epiphysis distalis tibia berusia sekitar 21 tahun, Epiphysis proksimalis tibia berusia sekitar 23 tahun, dan Trochanter minor femur: berusia sekitar 20 tahun. Terakhir Panjang humerus bayi, 70 mm, yang diduga berusia sekitar 2 bulan setelah kelahiran.
Dari kelima individu, dengan penghitungan formula Sjovold (1990) pada elemen tulang humerus dan tulang tibia, ukuran tinggi caput humeri dan segmen proksimalis serta distalis tulang tibia, maka diestimasi bahwa tinggi badan individu-individu perempuan adalah antara 142 hingga 155 cm. Sementara tinggi individu laki laki adalah antara 142 hingga 151 cm.
Satu lagi yang tidak kalah pentingnya dari hasil uji di Australia ini adalah Uji Pertanggalan, yaitu uji karbon untuk menentukan dating, usia tulang belulang yang ditemukan di dalam sumur jobong.
Hasilnya adalah tulang tulang ini dari kisaran tahun 1430 - 1608 M. Tahun 1430 adalah tahun tertua dari penemuan tulang dari Pandean dan tahun 1608 adalah usia termuda dari penemuan tulang tulang tersebut.
Menurut kurator dan pengelola museum Etnografi UNAIR, Toetik Koesbardiati, jika tahun tertua dari penemuan tulang belulang itu 1430 maka sangat mungkin sebelum tahun 1430 sudah ada kehidupan dan peradaban di kampung Pandean.
Apalagi dalam sejarah Surabaya, yang dialiri oleh Kalimas, merupakan jalur penting di era sebelum Majapahit. Sangat memungkinkan pula di bantaran Kalimas dan Kali Surabaya terdapat spot spot permukiman sebagaimana Surabaya disebut sebagai praditira pradesa (desa tambangan).
Selain melakukan uji karbon, test DNA juga menjadi rujukan dalam mengungkap temuan arkeologi di Pandean ini. Menurut kurator Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian, FISIP UNAIR, Delta Bayu Murti, test DNA ini dilakukan dengan menggunakan dua macam sampel.
Yaitu manusia hidup (warga Pandean), yang selanjutnya diberi kode PANDEAN ( 1,2,3) karena ada 3 orang yang diambil air liurnya sebagai media test. Materi DNA dari manusia hidup (warga Pandean) dipadukan dengan hasil test pada Temuan Tulang yang diberi kode TLG (1,2,3). Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Human Genetic ITD, Universitas Airlangga, dengan teknik PCR.
Sementara analisis perangkat online BLAST digunakan untuk menentukan persentase kedekatan antar sampel: PANDEAN (1,2,3) dengan TULANG (1,2,3). Hasilnya adalah adanya kedekatan antar sampel: Pandean 96% dan TLG 97%.
Angka tersebut menunjukkan kedekatan antar sampel (warga Pandean dan Tulang temuan) masih sangat kuat. Sementara tulang tulang yang ditemukan dalam sumur jobong diketahui masih dalam satu populasi (etnis). Perbandingan Pandean dan TLG dengan prosentase di atas 90% adalah tinggi atau menunjukkan kedekatan atau bernenek moyang yang sama.
Penemuan arkeologi Pandean menjadi petunjuk penting dalam mengungkap sejarah klasik Surabaya. Jika dicross-check kan dengan hipotesis G.H. Von Faber dalam bukunya “Er Werd Een Stad Geboren” (1953) yang menjelaskan bahwa di Delta Kalimas (Pandean-Peneleh) adalah tempat bermukim peradaban Surabaya, maka temuan Pandean (2018) dengan hipotesa Von Faber (1953) ada kedekatan.
Temuan Pandean (2018) membuktikan hipotesa Von Faber tentang kekukoan kampung Pandean - Peneleh, yang sebelumnya dikenal bernama Glagah Arum.
Advertisement