Banyak RS di Jawa Lakukan Fototerapi untuk Bayi, Tak Sesuai Dosis
Adakalanya seorang jabang bayi yang baru dilahirkan tidak dalam kondisi sehat seratus persen. Misalnya, saat baru lahir kondisi fisik jabang bayi dalam kondisi kuning. Jika mengalami hal tersebut, paramedis rumah sakit biasanya langsung melakukan terapi penyinaran agar kondisi bayi tak kuning.
Berdasarkan penelitian, beban penyakit akibat bayi kuning di Indonesia ternyata lebih tinggi daripada negara lain. Bayi kuning secara medis seringkali disebut bayi hiperbilirubinemia. Menurut dr Mahendra Tri Arif Sampurna, SpA, seorang bayi disebut mengalami hiperbilirubinemia berat, jika memiliki kadar bilirubin >20 mg/dl. Bilirubin ialah pigmen kuning yang ada dalam darah dan tinja pada setiap orang.
"Penelitian telah dilakukan di berbagai negara di dunia maupun negara yang sedang berkembang. Fototerapi yang seharusnya berfungsi dalam menurunkan kadar bilirubin bisa menjadi tidak efektif fungsinya dalam mencegah kecacatan akibat hiperbilirubinemia," ungkap dokter Mahendra.
Pasalnya, lanjut dia, fototerapi yang terlalu agresif dapat membahayakan bayi dan dapat menyebabkan efek samping jangka pendek maupun jangka panjang. "Fototerapi efektivitasnya dipengaruhi oleh berbagai hal salah satunya adalah jarak antara fototerapi dengan bayi," sambung dia.
Menurut dokter Mahendra, para peneliti di Universitas Airlangga Surabaya telah melakukan pengumpulan data pada 17 rumah sakit di Pulau Jawa. Dalam penelitian itu sekaligus mengukur jarak antara lampu saat dilakukan fototerapi dengan bayi. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Desember 2016 sampai Agustus 2017.
"Kami juga mengevaluasinya efek penggunaan gorden terhadap perubahan intensitas fototerapi. Pengukuran dilakukan pada lima titik yang merepresentasikan kepala dada perut, lutut dan kaki. Kami menggunakan sebuah alat yang merupakan donasi dari Belanda yang kita sebut dengan Biliblanket meter II," jelasnya.
Dari penelitian ini didapatkan data, hampir 50 persen dari rumah sakit di Pulau Jawa memiliki intensitas lampu fototerapi di bawah ambang dosis terapi yang direkomendasikan. Sedangkan hanya sekitar 30 persen rumah sakit yang memiliki lampu intensif fototerapi.
"Jika rumah sakit tersebut menerima bayi dengan hiperbilirubinemia berat yang membutuhkan fototerapi intensif, maka rumah sakit tersebut akan gagal mencegah terjadinya komplikasi yang mungkin timbul yaitu cacat motorik dan ketulian permanen," beber dokter Mahendra.
Di beberapa rumah sakit masih ditemukan menggunakan praktik penggunaan korden juga menjadi sorotan tim peneliti. Betapa tidak, meskipun dari American Academy of Pediatric menganjurkan untuk menggunakan reflekting material. Namun, beberapa rumah sakit masih saja ditemukan menggunakan korden yang berwarna gelap seperti hitam dan hijau tua.
"Fototerapi harus sesuai dengan standar baku internasional. Sehingga angka kecacatan akibat hiperbilirubinemia berat dapat dicegah denga fototerapi yang efektif," pesan dokter Mahendra.