Fortifikasi Garam Beryodium Masih Terkendala Pengawasan
Meski fortifikasi atau penambahan gizi pada makanan untuk memperbaiki kandungan gizi warga sudah lama dijalankan di Indonesia, namun masih ada kebingungan soal siapa yang akan mengawasi pelaksanaan fortifikasi di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pun melalui Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa pun mengadakan Focus Group Discussion untuk membahas masalah ini.
Fortifikasi pada makanan, saat ini sudah diwajibkan untuk untuk beberapa produk makanan seperti penambahan yodium dalam garam dan vitamin A dalam minyak goreng. Yodium sendiri bermanfaat untuk menjaga fungsi tiroid tetap stabil. Hormon tiroid ini yang berperan dalam mengoptimalkan fungsi otak dan sistem syaraf. Hormon tiroid juga dipercaya membantu perkembangan janin, agar fungsi otak dan sistem syaraf berkembang normal.
"Tujuan fortifikasi yodium pada garam tentunya untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Mengantisipasi stunting sejak anak dalam kandungan yang dapat terjadi karena kekurangan yodium," ujar Agung Kuswandono Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Kementerian Koordinator Kemaritiman di sela-sela Focus Group Discussion di Hotel Hotel Fairfield Marriott, Kamis 4 April 2019.
Kata Agung, meski sudah ada landasan hukum soal produsen garam yang wajib fortifiksi yodium, namun dalam pelaksanaanya siapa yang bakal mengawasi program ini, menurut dia masih belum jelas.
Kata Agung, selama ini memang sudah banyak garam beryodium yang muncul di pasaran. Namun berapa jumlah yodium yang ditambahkan dalam garam dan siapa yang mengawasi masih menjadi pertanyaan.
Agung mencontohkan garam yang diproduksi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) yang juga memproduksi garam. Pertanyaannya apakah mereka juga sudah melakukan fortifikasi yodium dalam produk garamnya?
Kata dia, UKM yang memproduksi garam juga harus mendapat perhatian dari pemerintah derah setempat. Pasalnya, ada banyak sekali harus diawasi, mulai dari proses pemberian yodium sampai proses pemasarannya.
“Saat ini hanya ada satu provider kalium iodat (yodium) di Indonesia, yaitu PT.Kimia Farma. Sekarang bagaimana cara memastikan distribusi kalium iodat untuk produsen garam seluruh Indonesia? Siapa yang menangani monitoring dan evaluasi fortifikasi yodium, khususnya untuk garam rakyat produksi UMKM, bagaimana pengawasan standarisasi kadar yodiumnya?” tanya dia.
Seolah menjawab kebingungan dari Kementerian Koordinator Kemaritiman, Direktur Pengawas Pangan Risiko Rendah dan Sedang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ema Setyawati menyebut jika sudah ada acuan untuk memberikan kadar yodium dalam garam. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 165/MEN.KES/SK/II/1986 sudah menentukan standar yodium yang harus ada dalam garam.
"Yaitu sebesar 40-50 bagian per sejuta kalium yodat (40-50 mg/kg KIO3) pada tingkat produksi. Sedangkan untuk tingkat distribusi sebesar 30-50 bagian per sejuta kalium yodat (30-t0 mg/kg KIO3)," kata Ema.
Ema Setyawati juga menjawab kebingungan Agung soal siapa yang akan mengawasi fortifikasi yodium dalam garam. Ema mengatakan jika BPOM yang akan melakukan pengawasan fortifikasi yodium dalam garam tersebut.
"Seperti yang ditanyakan Pak Deputi tadi siapa yang melakukan pengawasan, BPOM yang akan melakukan pengawasan fortifikasi garam beryodium," tambah Ema.
Menurut catatan BPOM, tahun 2013 masih ditemukan kekurangan yodium pada ibu hamil di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, BPOM juga menemukan kualitas garam di daerah-daerah terpencil semakin menurun. (pit)