Formula E dan Mimpi yang Pertama Gubernur Anies
“Jakarta, kami datang untuk Anda”, tulisan berhuruf kapital itu muncul di situs resmi penyelenggara Kejuaraan Formula E. Dipastikan 24 mobil balap listrik akan menghantam jalanan Jakarta pada 6 Juni 2020. Mereka meminta Jakarta bersiap, atas kedatangannya.
Ini sejarah, karena pertama kali balapan ini digelar di Jakarta. Pada hari Jumat lalu, 20 September 2019, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengkampanyekan balapan ini. Acaranya heboh. Dimulai dengan konvoi kendaraan listrik dari Senayan menuju Monas.
Walau pada bersamaan, di depan Gedung DPR/ MPR/ DPD di Senayan ada demo ratusan mahasiswa. Menuntut pembatalan revisi UU KPK, juga rencana pengesahanan revisi UU KUHP. Di pulau seberang, warga Sumatera dan sebagian Kalimantan masih berjibaku melawan asap pembakaran hutan.
Tapi, apa pun kondisinya, the show must go on. Mas Anies tetap memimpin perhelatan ini. Meminta perhatian publik atas agenda pentingnya.
Mas Anies naik mobil listrik BMW i8. Sopirnya bukan sembarangan, Sean Gelael. Itu lho, pembalap Formula 2 yang suka makanan Jepang. Mas Anies tak henti menebar senyumnya.
Awal perhelatan balapan ini bak drama. Dimulai dari urusan lobinya kepada pengelola Formula E di New York pada 13 Juli 2019. Perhatian publik, lantas menyeruak atas besarnya biaya.
Sesampai di Monas, konvoi berhenti. Mas Anies pun tampil gemilang di acara konferensi pers. Menurutnya, Formula E akan berlangsung di Jakarta lima kali. Dimulai pada tahun 2020 dan berakhir pada 2024.
Di benaknya, kegiatan ini akan dikembangkan sebagai sebuah produk. Jakarta akan terus mengembangkan aspek lain. Menurutnya, kalau hanya satu kali kegiatan, tidak punya kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya.
"Tanggal 6 juni 2020 Jakarta akan menjadi fokus kamera seluruh dunia," tambah mantan Menteri Pendidikan ini. Lihatlah, pilihan katanya, saat meyakinkan publik atas pentingnya perhelatan ini.
Memang, untuk urusan kata, Mas Anies, aduhai. Memilah dan memilih kata dia lihai. Lantas menguntainya jadi kalimat mutiara, selalu bikin takjub semua.
Saya yakin, untuk keahlian ini, para penggemarnya atau pengkritiknya, pasti bersepakat. Semua mengamininya. Ini memang keahlian paripurna.
Tak semua mampu menjajarinya. Tak percaya? Coba saja googling: Kata Mutiara Anies Baswedan. Hasil pencarian Google akan membuat Anda terpana.
Pasti akan ketemu deretan karyanya. Dari yang heroik, menggugah mimpi, memberi inspirasi hingga nan puitis serta melankolis. Semuanya bisa bikin mabuk kepayang.
Awalnya, Mas Anies tenar sebagai pengamat politik dan Rektor Universitas Paramadina. Sempat ikut konvensi Partai Demokrat. Lantas bergabung dengan Pak Jokowi.
Jadi menteri, lantas diganti. Beruntung, dia terpilih jadi Gubernur DKI. Dalam setiap acara, perkataannya selalu dinanti. Tentu saja, yang mengkritisi juga tak sepi.
Dia mendirikan Program Indonesia Mengajar. Yang sempat jadi buah bibir. Tak sampai di situ, lalu, dia luncurkan program baru. Namanya Kelas Inspirasi.
Pesertanya, mereka yang sudah bekerja. Tugasnya berbagi pengalaman kepada anak-anak SD. Isinya tentang suka duka, cerita sukses, hingga motivasi.
Ujungnya pertemuan itu akan memberi inspirasi. Untuk jadi contoh, setidaknya mereka berani bermimpi. Demi meraih sukses di kemudian hari.
Saat peluncuran angkatan pertama program ini, dia membuat pidato yang menawan. Begini kalimatnya. “Tidak ada yang bisa mengalahkan yang pertama,” ungkap Mas Anies, seperti ditirukan istri saya.
Dia jadi peserta angkatan pertama itu. Sampai sekarang, ucapan itu masih terngiang. Bahkan kalimat lengkapnya diingatnya sempurna.
Begini, kelanjutannya. “Kalau jadi yang terbaik, selalu akan ada yang lebih baik. Tapi yang pertama selalu spesial,” ucap istri menirukan lanjutan kalimat inspiratif Mas Anies itu.
Menjadi pertama adalah mantra utama yang diyakini Mas Anies. Bisa jadi, kengototannya mengelar perhelatan balap Formula E, dilandasi sikap itu. Menjadi spesial.
Walaupun, kalau boleh jujur, penyelenggaraan balapan ini mahal lho. Untuk sekali balapan, Pemprov DKI Jakarta harus merogoh koceknya hampir Rp 1 triliun. Pasti pada tahap awal ini, uang dianggarakan dari APBD, sambil menanti kalau ada sponsor.
Rincian kasar yang ramai di media seperti ini. Pertama biaya commitment fee, atau tanda jadi kepada penyelenggara. Nilainya sekitar 20 juta poundsterling, sekira Rp350 miliar.
Lantas, karena lima tahun, tiap tahun angka commitment fee akan naik. Besarnya dua persen dari biaya awal setiap tahun sebelumnya. Lalu harus bayar asuransi senilai 35 juta euro, sekira Rp545 miliar.
Tentu balapan butuh bangun sarana dan prasarana pendukung. Yang utama tentu perbaikan jalan raya buat arena balap. Ada juga pembangunan pembatas dan pagar. Biaya urusan ini, bisa tembus Rp300 miliar.
Sebenarnya, apakah menguntungkan menghelat acara ini? Kontributor Forbes, Christian Sylt punya informasi unik. Dia menulis, pada Oktober 2018, seri balapan mobil listrik ini bernilai USD 900 juta, sekira 12,6 triliun Rupiah. Namun, dalam empat tahun telah rugi USD 140 juta, sekira 1,9 triliun Rupiah.
Selain itu, meskipun ramah lingkungan, perhelatan Formula E di Inggris sempat mendapatkan unjuk rasa. Tepatnya di London. Pada 2016, sebagian penduduk setempat menghentikan balapan di Battersea Park.
Yang juga menarik, imbas balapan di Montreal. Forbes menulis, tidak ada efek bisnis yang dirasa. Contohnya, alih-alih dapat untung, 70 persen pedagang lokal lapor kalau bisnis rugi. Mereka mengutip survey Organisasi Formule Citoyenne.
Ada cerita juga dari Brussels, Belgia lantas Buenos Aires, Argentina lokasi sirkuit yang harus dipindah. Sebelumnya, balapan di Miami, Punta del Este, Beijing, Putrajaya, Long Beach dan Moskow menghilang.
Tentu saja, penyelenggara Formula E terbantu atas kesediaan Jakarta jadi tuan rumah. Menambah pendapatan, serta memastikan seri terus digelar.
Berkaca dari hal itu, sepertinya banyak pekerjaan rumah dari Pemprov DKI Jakarta. Agar imbas balapan ini sepadan. Tak sekadar menghamburkan uang pajak kaum urban.
Namun, Mas Anies tampaknya selalu berpikir positif. Kepada wartawan yang ngepos di Balai Kota Jakarta, dia meyakini, Formula E akan memberi dua keuntungan.
“Bagi Jakarta ini adalah langkah untuk berada di orbit global, tapi juga mendorong Jakarta melakukan transformasi karena masalah lingkungan hidup," ungkapnya di Balai Kota, pada Kamis, 19 September 2019.
Sekali lagi, uang lima triliun Rupiah untuk lima seri balapan bisa digunakan banyak hal. Misalnya, dalam setahun, bisa membeli lebih dari 166 bus listrik untuk armada transjakarta. Dalam lima tahun sudah 830 bus listrik mengaspal di Jakarta.
Atau uang itu bisa untuk revitalisasi pedestrian. Bisa membersihkan sungai dengan teknologi terbaru. Atau membeli tanah untuk ruang publik yang bagus. Jika semua terwujud, Jakarta dengan sendirinya masuk dalam orbit kota modern yang ramah lingkungan.
Tapi bagaimana lagi, keputusan Mas Anies sudah bulat. Mungkin, agar selalu di orbit dan dibicarakan orang. Apalagi ini demi sejarah, menjadi yang pertama. Terkait biaya nan mahal, itu urusan ke dua.
Sebab, tak ada Gubernur DKI yang sudah bikin acara ini. Bahkan, saat DKI dipimpin Pak Jokowi. Kini, walau sudah jadi presiden, mimpi Pak Jokowi bikin perhelatan balap Formula 1 pun masih jauh panggang dari api.
Bila balapan ini sukses, pasti dia berbangga hati. Setidaknya ini ya, Mas Anies sudah mengalahkan Pak Jokowi. Bahkan dua kali. Sehingga, merasa layak diperhitungkan sebagai pengganti.
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement