Food Blogger Kuliner di Surabaya Blak-blakan Buka Kunci Endorse
Dalam industri konten kreatif seperti saat ini, banyak pekerjaan baru bermunculan salah satunya adalah food blogger atau orang yang suka memberi rekomendasi kuliner kepada para pengikutnya di media sosial.
Pekerjaan ini pula yang sudah dilakukan Devi Lilian sejak tahun 2015 silam. Perempuan asal Surabaya ini pun berbagi kesempatan menceritakan suka dukanya menjadi seorang pe-review makanan.
Awal mula karier perempuan 32 tahun ini, karena dirinya memang gemar mencicipi makanan yang teranyar dan hits di kalangan masyarakat. "Zaman belum ada foodies (sebutan food blogger) sudah posting-posting di akun pribadi. Lalu, mulai diundang sama beberapa restoran sampai akhirnya membuat satu akun Instagram sebagai wadah menyalurkan hobi," kata pemilik akun instagram @foodmaxsby ini.
Suka Duka Jadi Food Blogger
Selama menjalani karier 8 tahun sebagai food blogger, Devi juga kerap mendapatkan cibiran atau pandangan sebelah mata dari netizen. Salah satu hal yang paling diingat adalah ujaran "Oh cuma foto-foto aja dapat duit (uang)," kata Devi menirukan
Padahal kenyataannya tidak seperti itu, ia harus memikirkan konsep dan konten apa yang akan dibuat untuk mereview sebuah makanan. "Jadi food blogger itu terlatih untuk bisa kasih rekomendasi yang bener-bener valid ke masyarakat," terangnya.
Meski demikian, Devi tetap menikmati pekerjaannya saat ini karena juga memiliki keuntungan, seperti bisa mencoba makanan baru lebih dulu, terutama yang ada di Indonesia.
Disisi lain, menurutnya menjadi food blogger saat ini susah-susah gampang, sebab harus memiliki ciri khas atau autentik. Tidak sekedar memberi penilaian enak atau tidak enak pada makan tapi juga tau makanan dan asal usulnya.
"Kebetulan saya sendiri juga suka hunting michelin star restaurant di luar Indonesia. Jadi memang benar-benar hobby bukan untuk pekerjaan cari uang semata," tegasnya.
Saat memberi ulasan pada sebuah produk kuliner, ia juga tak asal ada seleksi yang dilakukan karena hal itu menyangkut kepercayaan masyarakat terhadapnya.
"Dari review yang ditayangkan di social media, tentunya diseleksi kalau yang beneran enak diterima, yang kurang sesuai dan tidak cocok dengan seleraku tidak diterima, misal dapat endorsan produk makanan lele, aku kurang suka pasti aku tidak terima, daripada nanti reviewku tidak honest juga," beber Devi.
Satu prinsipnya yang dipegang untuk bertahan di dunia konten kreator kuliner adalah review harus terpercaya dan jujur. "Sekali kamu review tidak honest, selamanya lidah kamu tidak akan di percaya, prinsipku itu. Jadi semua yang follow aku, itu sudah pasti yang lidahnya ter-upgrade (bukan review abal-abal yang cuma cari konten di asal tempat terus direview bilang enak)," tandasnya.
Advertisement